Wednesday, August 6, 2014

Suku Bajo (Suku Bajau), Sang Penjaga Laut

Suku Bajo di Indonesia diperkirakan berjumlah 90000 populasi dan 40000 diantaranya hidup dan menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee 2007). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari Suku laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Peribadi 2000), tetapi menurut Hafid et al. (1996) suku Bajo berasal dari Luwu – Malili Sulawesi Selatan.

Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas suku Bajo, yakni: menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut; menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun; memiliki dialek bahasa yang sama (Mattulada 1977; Hamid 1986; Hafid et al. 1996; Peribadi 2000).

Selama ini stereotip yang ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat (Hafid et al. 1996). Akibatnya suku Bajo kurang terlibat dalam proses pembangunan dan kurang menikmati hasil pembangunan tersebut (Hamid 1986).

Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif (Hafid et al. 1996). Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.

Berbagai ciri khas fisik dan budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman mereka menetap di daerah mana saja. Di Bungku Selatan, Siregar (2001) menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam di laut, Suku Bajo memiliki kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut membuat Suku Bajo dikenal banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh. Pada masyarakat setempat, Suku Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak.

Berbagai kepercayaan dan budaya suku Bajo menggambarkan bahwa laut dan sumber daya di dalamnya sangat dekat dengan mereka. Penelitian Hamid (1986) mengungkapkan antara lain bahwa Suku Bajo percaya akan adanya pangngonroang sappa (penjaga karang), bertempat tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak dahulu suku Bajo terkenal sebagai pengembara lautan karena hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat tinggal (Anonim 1996; Peribadi 2000). Mattulada (1977) dalam pandangannya menyatakan bahwa Suku Bajo di Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di air.

Di mata Suku Bajo, laut adalah segalanya (Anonim 1996). Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, Suku Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Suku Bajo menurut Peribadi (2000) dalam berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut ditunjang oleh falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua Temmaserang (tiga unsur tidak dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan (Peribadi 2000). Falsafah tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika), benar dan salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, Peribadi (2000) dalam penelitiannya pada Suku Bajo di Kendari menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku Bajo sudah banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo.

Perubahan menonjol sekarang ini Suku Bajo sudah dapat beradaptasi untuk tinggal di daratan. Walaupun wilayah tersebut bukanlah sepenuhnya darat (semi darat). Pola tersebut menjadikan mereka tetap menjaga akses mereka terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement) Suku Bajo di Bungku Selatan  telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat yang khas. Akan tetapi pola tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang masih kental (Siregar 2001).

No comments:

Post a Comment