Suku
Bajo di
Indonesia diperkirakan berjumlah 90000 populasi dan 40000 diantaranya hidup dan
menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee 2007). Berbagai
studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari
keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari Suku laut
atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Peribadi 2000), tetapi menurut Hafid et
al. (1996) suku Bajo berasal dari Luwu – Malili Sulawesi Selatan.
Walaupun terdapat perbedaan
riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi
tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas suku
Bajo, yakni: menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut; menangkap ikan
merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun; memiliki dialek
bahasa yang sama (Mattulada 1977; Hamid 1986; Hafid et al. 1996; Peribadi
2000).
Selama ini stereotip yang
ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka adalah statis, hanya suka hidup di
laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup dan tidak mampu beradaptasi
secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat
(Hafid et al. 1996). Akibatnya suku Bajo kurang terlibat dalam proses
pembangunan dan kurang menikmati hasil pembangunan tersebut (Hamid 1986).
Kajian berbagai ilmu sosial
menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup
progresif (Hafid et al. 1996). Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya
bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi
juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi
ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih
luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara
variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.
Berbagai ciri khas fisik dan
budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman mereka menetap di daerah mana saja.
Di Bungku Selatan, Siregar (2001) menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam
di laut, Suku Bajo memiliki kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut
membuat Suku Bajo dikenal banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh.
Pada masyarakat setempat, Suku Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak.
Berbagai kepercayaan dan budaya
suku Bajo menggambarkan bahwa laut dan sumber daya di dalamnya sangat dekat
dengan mereka. Penelitian Hamid (1986) mengungkapkan antara lain bahwa Suku
Bajo percaya akan adanya pangngonroang sappa (penjaga karang), bertempat
tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak dahulu suku Bajo terkenal sebagai
pengembara lautan karena hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat tinggal (Anonim 1996; Peribadi
2000). Mattulada (1977) dalam pandangannya menyatakan bahwa Suku Bajo di
Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan
mendapatkan makanan di air.
Di mata Suku Bajo, laut adalah
segalanya (Anonim 1996). Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber
penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, Suku Bajo memandang laut sebagai lahan
mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Suku Bajo menurut Peribadi
(2000) dalam berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari
makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut ditunjang oleh
falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua Temmaserang (tiga unsur tidak
dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan (Peribadi 2000). Falsafah
tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika), benar dan
salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, Peribadi (2000)
dalam penelitiannya pada Suku Bajo
di Kendari menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan
pembangunan yang berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku
Bajo sudah banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo.
Perubahan menonjol sekarang ini
Suku Bajo sudah dapat beradaptasi untuk tinggal di daratan. Walaupun wilayah
tersebut bukanlah sepenuhnya darat (semi darat). Pola tersebut menjadikan
mereka tetap menjaga akses mereka terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement)
Suku Bajo di Bungku Selatan
telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat yang khas. Akan tetapi pola
tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang masih kental (Siregar 2001).
No comments:
Post a Comment