Friday, January 30, 2015

Proses Terbentuknya Karst



Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006; Samodra 2006).

Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut menyebabkan lempeng saling bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut antara lain, coral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa, ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen), Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut. Gaya-gaya tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini merupakan area yang sangat potensial untuk masuknya aliran air dan terbentuknya perangkap-perangkap air (Eberhard 2006). Formasi awal terbentuknya karst tersaji pada Gambar 1.

 
Gambar 1. Awal terbentuknya karst (Subterra 2004)

Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO2) di udara dengan air hujan (H2O) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah sebagai berikut :

H2O + CO2  -------------------------> H2CO3
H2CO3            ------------------------->        HCO3 + H+
HCO3 + CaO  -------------------------> CaCO3 + H2O
CaCO3 +H2O + CO2  -------------------------> CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole (lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng batu gamping dapat membentuk morfologi karst, menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya.

Thursday, January 15, 2015

Sekilas Tentang Rawa Gambut

Tanah gambut terbentuk melalui proses paludisasi yang disebabkan oleh akumulasi bahan organik pada daerah perairan tergenang, sehingga terjadi kondisi anaerob yang memungkinkan terjadinya akumulasi sepanjang waktu. Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, misalnya cekungan-cekungan di daerah lembah, rawa, dan di daerah antara sungai besar (M’Boy 2009). Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi lahan rawa. Salah satu sifat gambut yang berperan dalam sistem hidrologi adalah kemampuan gambut menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki kemampuan menahan air hingga 300 - 800% dari bobotnya. Selain kemampuan tersebut, gambut juga mempunyai kemampuan lepas air yang juga besar. Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan lahan gambut sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah konservasi air (Wahyunto et al. 2005).

Seperti rawa pada umumnya, rawa gambut banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang telah teradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Selain itu, rawa gambut yang terbentuk di atas tanah gambut memiliki karakteristik ekosistem yang unik berupa warna perairan hitam (ekosistem air hitam), derajat keasaman (pH) relatif rendah, dan konsentrasi oksigen terlarut rendah. Rawa gambut di Selangor Utara, Malaysia memiliki karakteristik berupa warna perairan hitam, pH dan konsentrasi oksigen terlarut rendah (Beamish et al. 2003). Hal yang sama juga ditemukan di Rawa Berengbengkel, Kalimantan Tengah berupa warna perairan coklat tua yang diduga disebabkan oleh koloid asam humus yang tersuspensi dan pH perairan yang relatif rendah (2.8 - 3.3) yang juga dipengaruhi oleh asam humus (Sulistiyarto 1998).

Thursday, January 8, 2015

Sekilas Tentang Konservasi Tanah

Umumnya tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk dan tanah menjadi semakin peka karena curah hujan yang relatif tinggi, berkisar 1500-3000 mm atau lebih setiap tahunnya dengan intensitas hujan yang juga tinggi (Dariah et al. 2004). Teknik konservasi tanah di daerah bercurah hujan tinggi menjadi sangat spesifik, karena penerapannya tidak hanya untuk mengendalikan erosi melainkan juga harus ditujukan untuk memanen hujan atau aliran permukaan.

Tindakan konservasi tanah adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Tujuan usaha konservasi tanah adalah mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas (M’Boy 2014).

Faktor-faktor yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan tanah adalah erosi, pencucian unsur hara (leaching), timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air (Dariah et al. 2004). Rowland (1993) menyatakan bahwa tingkat konservasi tanah dan air oleh petani dapat dilihat dari cara pengelolaan usaha taninya. Penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik mengendalikan erosi. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan metode konservasi tanah secara mekanik atau vegetatif (M’Boy 2014). Pada praktiknya metode konservasi mekanik dan vegetatif sulit dipisahkan. Penerapan metode konservasi mekanik akan lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapan metode vegetatif dan penerapan metode vegetatif masih memerlukan perlakuan fisik mekanis seperti bangunan saluran pembuangan air (SPA), atau bangunan terjunan (drop structure) dll (Dariah et al. 2004).

Friday, January 2, 2015

Sekilas Tentang Sistem Pergiliran Tanaman (Crop rotation)

Sistem pergiliran tanaman (crop rotation) merupakan salah satu metode yang sering diterapkan oleh petani dalam rangka untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit, memelihara atau memperbaiki kesuburan tanah (ketersediaan hara dan sifat-sifat fisik tanah) serta dapat mengurangi erosi lahan. Dalam sistem ini dilakukan penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada sebidang lahan (Sitorus 2004).

Pergiliran tanaman sangat tergantung pada jenis tanah, iklim, topografi, dan pemasaran hasil. Lahan dengan kemiringan <8% dapat mendukung usaha tanaman pangan sebagai tanaman utama. Sedangkan lahan dengan kemiringan >8%, pertanaman diusahakan searah kontur atau teras dan tanaman pangan tidak lagi berfungsi sebagai tanaman utama, melainkan sudah beralih ke tanaman tahunan (Santoso et al. 2004).

Dalam pergiliran tanaman juga dapat dilakukan dengan memasukkan unsur tanaman penutup tanah. Menurut Sitorus (2004) tanaman yang dianggap lebih sesuai untuk dijadikan tanaman penutup tanah dan pupuk hijau adalah tanaman leguminoceae, karena dapat menambah nitrogen tanah dan mempunyai sistem perakaran yang tidak memberikan kompetisi yang berat terhadap tanaman pokok/utama.

Tujuan dari penanaman tanaman penutup tanah menurut Santoso et al. (2004) adalah: melindungi permukaan tanah dari erosi percikan (splash erosion) akibat jatuhnya tetesan air hujan; meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah; menekan pertumbuhan gulma sehingga mengurangi biaya perawatan tanaman; meminimumkan perubahan-perubahan iklim mikro dan suhu tanah sehingga dapat menyediakan lingkungan hidup yang lebih baik bagi tanaman.