Tuesday, November 18, 2014

Mengenal Istilah dan Konsep Agropolitan

Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti pertanian dan politan yang berarti kota. Konsep pengembangan Agropolitan pertama kali diperkenalkan oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1975 sebagai siasat untuk pengembangan kawasan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain menurut Friedmann adalah “kota di ladang”. Konsep Agropolitan dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan Tiebout (1957), Isard (1966), Moses (1966), Hoover (1968), Friedmann dan Douglass (1976).

Agropolitan adalah “kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di desa-desa hinterland dan desa-desa wilayah sekitarnya”. Sedangkan kawasan agropolitan adalah “kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem pemukiman dan sistem agrobisnis” (M’Boy 2014).

Petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan masalah produksi (teknik budidaya pertanian), kredit modal kerja, pemasaran/informasi pasar maupun masalah kebutuhan sosial, budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani. Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat Agropolitan.

Peran Agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dll), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dll), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi) (M’Boy 2014).

Dalam konsep Agropolitan juga diperkenalkan adanya distrik agropolitan (Agropolitan district) yang merupakan suatu daerah perdesaan yang mempunyai kepadatan minimal 200 jiwa/km2. Dalam distrik ini biasanya akan dijumpai kota berpenduduk 10-50 ribu, dan batas-batas wilayahnya adalah “commuting“ radius (lingkar pulang-pergi) antara 5-10 km. Ukuran ini menjadikan penduduk distrik umumnya berkisar antara 50 – 150 ribu jiwa, dan sebagian besar pada mulanya bekerja di bidang pertanian (Friedmann dan Douglass 1976).

Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Distrik Agropolitan perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan masyarakat perdesaan yang volume permintaan dan penawarannya masih terbatas dan jenisnya berbeda.

Seluk Beluk Manfaat Burung Puyuh

Burung puyuh mulai dikenal dan diternakkan di Indonesia pada tahun 1979. Burung puyuh merupakan bangsa burung (liar) yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu.

Burung puyuh yang biasa diberdayakan sebagai ternak unggas berasal dari kelas Aves (bangsa burung), Ordo Galiformes, Sub Ordo Phasianoidae, Famili Phasianidae, Sub Famili Phasianinae, Genus Coturnix, dan Species Coturnix-coturnix japonica.

Karakter burung puyuh dewasa jantan dapat dilihat dari bagian leher atas yang berwarna coklat muda (cinnamon) dan warna dada bagian bawah yang sama dan warna yang merata. Sedangkan burung puyuh betina memiliki bulu leher atau kerongkongan dan dada bagian atas yang panjang dan berwarna lebih muda. Terdapat totol-totol cokelat tua pada dada bagian atas. Bentuk badan betina pada umumnya lebih besar dari jantan. Burung puyuh muda mulai bersuara pada umur 5-6 minggu.

Burung puyuh memiliki banyak manfaat untuk dipelihara sebagai hewan ternak karena memiliki banyak keunggulan dan nilai jual yang tinggi. burung puyuh dapat dijadikan sebagai ternak penghasil telur konsumsi, penghasil telur tetas, hingga bibit dan afkirannya masih dapat dijual.

Telur burung puyuh memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih baik dari telur biasa, karena memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dengan kandungan lemak yang lebih rendah. Telur burung puyuh juga dapat dijadikan sebagai konsumsi diet kolesterol, karena komposisi telur burung puyuh dapat mencegah terjadinya penimbunan lemak di jantung. Sementara itu, kebutuhan tubuh akan protein dapat terpenuhi.

Kualitas telur burung puyuh terdiri dari kualitas kulit telur, kualitas kekentalan, dan kualitas gizi yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kualitas lainnya ditentukan dari penampakkan kulit telur seperti tingkat kebersihan terhadap bercak darah, dan kualitas kuning telur. Kualitas telur dapat dinyatakan dengan melihat telur secara eksterior dan interior. Secara interior, dengan mengukur bagian dalam telur, seperti kuning telur, putih telur dan ada tidaknya cacat pada kuning telur. Sedangkan secara eksterior yaitu dengan melihat bentuk telur, mengukur bobot, dan tebal cangkang telur. Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis telur diantaranya adalah kandungan zat makanan, penyakit, temperatur, genetik dan umur unggas (M'Boy 2014).

Daging burung puyuh mengandung 21.10 persen protein, sedangkan lemaknya rendah yakni hanya 7.7 persen. Daging burung puyuh umumnya diambil dari burung puyuh yang sudah afkir yaitu burung puyuh betina yang kemampuannya menghasilkan telur sudah menurun atau burung jantan yang tidak terpilih sebagai pejantan. Sebagian besar burung puyuh jantan sengaja diafkir karena bila diternakan hanya akan menghabiskan pakan yang tentunya akan memperbesar biaya pemeliharaan.

Kotoran burung puyuh dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran maupun tanaman hias dan juga untuk campuran dalam bahan makanan (konsentrat) bagi ternak. Kotoran ini dijemur sampai kering kemudian digiling atau ditumbuk sampai halus agar dapat digunakan sebagai campuran pakan ternak. Sedangkan untuk pupuk, kotoran terlebih dahulu dicampur tanah dengan perbandingan 1:1 dan disimpan dalam suasana aerob selama 1-2 bulan.

Sekilas Tentang Penyakit Pada Burung Puyuh

Burung puyuh merupakan ternak unggas yang sensitif terhadap penyakit dan sangat peka terhadap kebisingan, perubahan cuaca dan perubahan penanganan aspek operasional budidaya. Adapun penyakit yang biasa menyerang burung puyuh adalah penyakit yang juga menyerang unggas lainnya, seperti itik, ayam ras, dan ayam kampung. Tidak semua penyakit yang menyerang burung puyuh menyebabkan kematian, akan tetapi sebagian besar masih bisa disembuhkan dengan penanganan yang insentif. Setiap penyakit yang menyerang burung puyuh akan menurunkan nafsu makan dan berdampak pada penurunan laju pertumbuhan serta tingkat produktivitas. Oleh karena itu, upaya pencegahan penyakit amat penting dilakukan untuk menghindari kerugian. Kewaspadaan terhadap penanganan merebaknya penyakit burung puyuh harus ditingkatkan ketika terdapat kemungkinan burung puyuh yang sudah sehat bertindak sebagai pembawa kuman penyakit yang akan menyerang burung puyuh lain yang tidak terkena penyakit. Adapun penyakit yang dapat menyerang burung puyuh yaitu radang usus, Newcastle Disease (ND) atau tetelo, CRD (Cronic Respiratory Disease) atau ngorok, Koksidionis (berak darah), Aspergillosis, Quail Bronchitis, cacingan, dan cacar ayam (Fowl pox).

Sekilas Tentang Sertifikasi SLIMF FSC

Sertifikasi hutan merupakan usaha untuk memberikan dukungan bagi komunitas dalam pengelolaan hutan rakyat termasuk jati dan guna memperkenalkan produk-produk hutan rakyat di tingkat nasional dan internasional. Di Indonesia terdapat dua lembaga pemberi sertifikat, yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC). Kedua lembaga ini telah berhasil melakukan sertifikasi terhadap lebih dari satu juta hektar hutan produksi maupun hutan alam Indonesia dalam rentang waktu 10 tahun terakhir. Sertifikat SLIMF (Small and Low Intensity Managed Forests) khusus diperuntukkan bagi hutan-hutan yang dikelola dengan luasan kurang dari 1.000 Ha dengan nilai tebangan dibawah 20 % dari setiap keseluruhan produksi dan total tebangan per tahun tidak lebih dari 5000 m³ (Hinrichs et al. 2008).

Upaya sertifikasi ini diharapkan dapat memudahkan pemasaran bagi produk-produk hutan KHJL, sekaligus memberikan tambahan pasokan bagi permintaan kayu-kayu bersertifikat di pasar dunia, terutama Eropa yang merupakan pasar strategis bagi banyak negara berkembang untuk memasarkan produk kayu mereka, dan memiliki tuntutan yang relatif tinggi dalam hal sertifikasi. Banyak pembeli kayu hanya mau membeli kayu jati yang bersertifikasi meski dengan harga yang lebih mahal, karena dengan sertifikasi itu para pembeli dapat melacak jejak sumber kayu yang dibelinya, sehingga dapat dipastikan bila kayu tersebut berasal dari hutan lindung atau hutan produksi.

Sekilas Info: Sistem Informasi Geografis (SIG/SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff (1989), SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data.

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan, atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005).

Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan. SIG juga dapat membantu para perencana dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Diantaranya SIG dapat digunakan dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan (Lioubimtseva dan De fourney 1999).

Beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam SIG menjadi tiga tahapan. Tahap pertama kelengkapan SIG adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam SIG dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit yang sudah memberikan kenampakan tentang informasi yang dibutuhkan (Robinson et al. 1995). Tahap kedua kelengkapan SIG adalah penambahan operasional analisis pada tahap pertama. Pada tahapan ini, bentuk data diberikan ke dalam data dengan menggunakan data statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut sama atau serupa (M’Boy 2014). Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun (overlay). Tumpang susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjutnya kalkulasi peta dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu (Danoedoro 1996).

Tahap terakhir kelengkapan SIG adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time untuk kemudian hasil yang didapatkan dari permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan (Robinson et al. 1995). Keluaran utama dari SIG adalah informasi spasial baru. Informasi ini perlu untuk disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) agar dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional (Danoedoro 1996).