Tempe merupakan
produk olahan kedelai yang terbentuk atas jasa kapang jenis Rhizopus sp.
melalui proses fermentasi. Banyak perubahan yang terjadi selama proses
fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut perubahan fisik,
biokimia maupun mikrobiologi, yang semuanya berdampak sangat menguntungkan
terhadap sumbangan gizi dan kesehatan. Kerja Rhizopus sp. mampu mengubah
kedelai menjadi tempe yang berasal lebih enak, lebih bergizi dan berfungsi
sebagai makanan sehat (Astawan 2009).
Terdapat beberapa
jenis tempe di Indonesia, antara lain: tempe gembus (dibuat dari ampas tahu),
tempe lamtoro (dari biji lamtoro), tempe benguk (dari biji koro benguk), tempe
koro (dari biji koro), tempe bongkrek (dari ampas kelapa), tempe gude (dari
kacang gude), tempe bungkil (dari ampas pembuatan minyak kapang) dan tempe
kedelai (dibuat dari biji kedelai). Dari berbagai jenis tempe tersebut, yang
paling banyak dikonsumsi dan digemari masyarakat adalah tempe kedelai (Astawan
2009).
Proses
pembuatan tempe umumnya masih dilakukan secara tradisional dalam skala industri
kecil. Secara garis besar, tahapan penting dalam pembuatan tempe adalah:
pembersihan biji kedelai, perebusan/pengukusan dan fermentasi. Proses
fermentasi adalah tahap terpenting pada pembuatan tempe, dimana pada tahap ini
dilakukan pemeraman kedelai selama beberapa hari (umumnya 36 – 48 jam)
menggunakan laru (kapang tempe). Selama proses fermentasi tempe terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan
terhadap lemak, sehingga asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated
fatty acids = PUFA) meningkat jumlahnya. Asam palmitat dan asam linoleat
sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam lemak oleat
dan linolenat (Astawan 2009).
Dibandingkan
kedelai, kadar protein, lemak dan karbohidrat tempe tidak banyak berubah. Akan
tetapi, karena adanya enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe,
protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam
tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Dua kelompok vitamin yang
terdapat pada tempe, yaitu vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin
larut lemak (vitamin A, D, E, dan K).
Tempe merupakan
sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam
tempe antara lain; vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam
pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin) dan vitamin B12
(sianokobalamin) (M'Boy 2014). Vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33
kali selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14
kali, niasin 2-5 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2
kali lipat (Astawan 2009).
Manfaat tempe terhadap daya tahan tubuh, pertama kali dinyatakan oleh Van Veen
(1950), berdasarkan hasil pengamatannya terhadap tahanan perang dunia II di
Pulau Jawa. Mereka yang setiap hari makan tempe, ternyata tidak terkena
disentri ketika wabah disentri berkecamuk.
Tabel 1.
Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering
Dibandingkan
kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi hal
ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut,
asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein serta
skor proteinnya.
Tabel 2.
Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram)
Selain
zat-zat yang telah disebutkan di atas, kedelai dan tempe sebagai hasil
olahannya juga mengandung senyawa aktif dari golongan isoflavon. Isoflavon
utama yang ditemukan di dalam kedelai dan produk fermentasinya diantaranya
daidzein (7,4’-dihidroksi isoflavon), genistein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon)
dan faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001).
Selama
proses fermentasi terjadi sintesa antioksidan di tempe yang diketahui sebagai
faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001). Selama fermentasi
juga terjadi peningkatan kandungan mineral tempe, seperti meningkatnya kandungan
kalsium dan zink. Selain mengandung mineral, tempe sebagai bahan makanan yang
dapat menurunkan kolesterol juga mengandung alpha dan gamma tocopherol (vitamin
E) sebagai antioksidan yang menjaga sel dari kerusakan akibat proses oksidasi
(M’Boy 2014). Antioksidan dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, mencegah dan memperlambat proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi
oksidasi oleh radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar & Rossell 1990).
Selama fermentasi, kapang tempe juga mampu memproduksi senyawa antibiotik yang
bermanfaat untuk menghambat atau memperkecil kejadian infeksi.
Antioksidan
yang telah berhasil diisolasi dari kedelai dan olahannya salah satunya adalah
isoflavon dari senyawa flavonoid. Isoflavon lain dari kedelai adalah
trihidroksi isoflavon yang hanya terdapat pada produk kedelai terfermentasi
(Pratt 1992). Selain isoflavon, kedelai dan produk olahannya merupakan sumber
berbagai macam senyawa antioksidan yang termasuk ke dalam golongan dari turunan
asam sianat, fosfolipid, tokoferol, asam amino dan peptida (Shahidi & Naczk
1995). Isoflavon adalah senyawa bioaktif, banyak ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada kedelai sampai 3099 mikrogram/g (Klump et al 2001).
Isoflavon yang berasal dari tempe diketahui bersifat hipolipidemik, antidiare
dan anti infeksi terhadap E.coli (Karyadi 2000).
Aktivitas
antibakterial pertama kali dikemukakan oleh Wang et al (1969). Beberapa jenis
bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus cremoris,
Bacillus subtilis, Clostridium perfringens, dan Clostridium sporogenes terhambat
pertumbuhannya. Hasil penelitian Mahmud et al (1982) menunjukkan bahwa
dalam tempe yang dibuat dengan biakan murni Rhizopus oligosporus terdapat
aktivitas antibakterial yang menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus, Salmonella typhii dan Shigella flexneri.
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap dan
dimanfaatkan tubuh dibandingkan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan
pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan
pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat.
Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar reffinosa dan
stakiosa, yaitu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Astawan 2009).