Jati (Tectona grandis Linn) tumbuh
secara alami hanya di India, Myanmar, Laos dan Thailand dan juga ditumbuhkan
secara alami di Indonesia yang diperkirakan merupakan hasil introduksi 400
sampai 600 tahun yang silam. Disamping itu, jati telah menyebar ke seluruh Asia
tropis seperti juga Afrika tropis (Pantai Gading, Nigeria, Sierra Leone, Tanzania
dan Togo) dan Amerika Latin dan Karibia (Costa Rica, Colombia, Ecuador, El
Salvador, Panama, Trinidad dan Tobago dan Venezuela). Jati juga diperkenalkan
ke beberapa pulau di daerah Pasifik (Papua Nugini, Fiji dan Kepulauan Solomon)
dan di utara Australia dalam tahap percobaan (Pandey dan Brown 2000).
Pandey
dan Brown (2000) menyebutkan bahwa perdagangan ekspor jati dunia didominasi
oleh Myanmar dengan Cina dan Thailand sebagai pengimpor utama. Dapat dilihat
dari Tabel 1 bahwa sebagian kayu gergajian jati dunia diekspor oleh Indonesia
dan Myanmar, dengan Thailand dan Pantai Gading di posisi ketiga dengan jumlah
yang cukup signifikan. Negara-negara lain seperti Ghana, Cina, United Republic
of Tanzania dan Ekuador, mengekspor dalam jumlah sedang, sedangkan India
menggunakan seluruh produksinya untuk konsumsi dalam negeri.
Tabel
1 Produksi dan ekspor tahunan kayu bulat jati dan kayu gergajian jati (m3)
Negara
|
Produksi Log Jati
|
Ekspor Log Jati
|
Ekspor Kayu Gergajian Jati
|
Myanmar
|
358.000
|
179.200
|
33.100
|
India
|
250.000
|
0
|
0
|
Indonesia
|
750.000
|
0
|
35.000
|
Thailand
|
12.900
|
0
|
5.000
|
Negara lain
|
424.100
|
134.300
|
14.800
|
Total
|
1.795.000
|
313.500
|
87.900
|
Sumber: (Pandey & Brown 2000)
Produsen
produk jati terbesar adalah Indonesia, Thailand, India dan Cina. India
memproduksi kayu gergajian untuk bahan baku konstruksi dan dekorasi, dan kayu
lapis dekoratif, semuanya secara eksklusif diolah untuk konsumsi pasar dalam
negerinya. Industri-industri jati Cina dan Thailand memakai bahan baku log
impor, sementara Indonesia memiliki hutan tanaman jati sendiri. Sebagian
besar hasil produksi ini kemudian diekspor ke Eropa dan Amerika Utara dalam
bentuk furnitur atau kayu gergajian. Umumnya, volume impor (dan seringnya
ekspor) produk jati tidak terdokumentasikan dengan layak atau tidak dapat
diakses (Pandey dan Brown 2000).
Di
Laos, jati memiliki peran penting dalam kehidupan petaninya. Mereka mendapatkan
pendapatan tinggi dari penjualan kayu baik ke pasar lokal maupun pasar luar.
Jati memberikan masing-masing sekitar 27%, 15% dan 14% pendapatan rumah tangga
bagi keluarga kaya, menengah dan miskin. Sayangnya, sebagian besar penjualan
dilakukan melalui pedagang lokal dan luar, dan petani tidak mampu mengakses
unit pengolahan kayu secara langsung. Diperkirakan 99% kayu bulat jati dibeli
oleh pedagang luar dan hanya 1% oleh pedagang lokal. Sekitar 95% dari produksi
diekspor, dan 5% dalam bentuk limbah digunakan untuk konsumsi lokal (Keonakhone
2006).
Lain
halnya dengan Myanmar, di negara ini pemerintahan yang berbasis militer
mempekerjakan penduduknya secara paksa dalam kegiatan pemanenan jati, termasuk
memanfaatkan gajah-gajah yang dieksploitasi sampai mati. Sepanjang akhir tahun
1990-an jati Myanmar diboikot oleh dunia internasional. Boikot juga mengancam
kayu ekspor dari Thailand, Singapura dan Taiwan yang bahan bakunya berasal dari
Myanmar. Hal ini terjadi karena isu deforestasi di Myanmar akibat produksi jati
dari hutan alam. Jati tumbuh menyebar di dalam hutan, sehingga penebang harus
menempuh jarak yang jauh ke dalam hutan primer untuk mendapatkannya, maka jalan
dan jalan angkut dibuat bermil-mil jauhnya. Jalur angkut ini memainkan
peran penting dalam proses deforestasi di Myanmar, Laos, Kamboja dan Thailand.
Jalan juga membuka peluang untuk menginvasi lahan-lahan penduduk asli, baik
dalam bentuk penambangan logam dan mineral, pendudukan lahan oleh penduduk
luar, maupun (khususnya di Myanmar) penempaan penduduk asli menjadi tenaga
budak dalam proses pemanenan jati (Johansen 2003).
Di
Indonesia, umumnya tanaman jati berada pada kawasan hutan yang dikelola oleh
Perum Perhutani, kawasan hutan yang direboisasi dan hutan-hutan komunitas di
lahan-lahan peribadi milik masyarakat. Perum Perhutani memiliki hak pengelolaan
penuh terhadap tegakan jati yang berada di kawasan hutan produksi milik negara
di Pulau Jawa, sedangkan tegakan jati rakyat biasanya dikelola secara peribadi
dan digunakan sebagai “tabungan” oleh pemiliknya.
Pohon jati
rakyat umumnya tidak sampai berumur tua sudah ditebang karena kebutuhan akan
kayu pertukangan ataupun kebutuhan akan uang bagi pemiliknya (Hadikusumo 2001).
Pohon jati yang belum cukup tua ini memiliki kandungan kayu juvenil yang cukup besar.
Padahal menurut Hadikusumo (2001), apabila suatu sortimen mengandung kayu
juvenil yang bercampur dengan kayu dewasa, maka sortimen tersebut akan mengalami
pelengkungan setelah kering.
No comments:
Post a Comment