Kata karst berasal dari bahasa
Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun
1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste,
Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah
digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata
bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi
adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan
batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst
dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton
& Smith 2006; Samodra 2006).
Proses terbentuknya karst (karstifikasi)
berlangsung selama jutaan tahun melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor
geologi, fisika, kimia, dan biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan
lempeng bumi yang bersifat dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut
menyebabkan lempeng saling bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang
mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi
sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat
dari dasar laut ke permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut
antara lain, coral (Pontes, Neandrina,
Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa, ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen), Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh
gaya tektonik ini menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut.
Gaya-gaya tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan
yang saling berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi
oleh gaya-gaya tektonik ini merupakan area yang sangat
potensial untuk masuknya aliran air dan terbentuknya perangkap-perangkap air
(Eberhard 2006). Formasi awal terbentuknya karst tersaji pada Gambar 1.
Setelah
proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah
pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO2)
di udara dengan air hujan (H2O) menghasilkan H2CO3
yang bersifat asam lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air
permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah.
Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh
asam lemah adalah sebagai berikut :
H2O + CO2
-------------------------> H2CO3
H2CO3
-------------------------> HCO3
+ H+
HCO3 + CaO -------------------------> CaCO3 + H2O
CaCO3 +H2O
+ CO2
-------------------------> CaH2C2O6
Celah yang dihasilkan oleh pelarutan
tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga
yang disebut karen (patahan), sinkhole
(lubang lari air), collapse
sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi
pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama
lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006).
Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng batu gamping dapat membentuk
morfologi karst, menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan
gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan
tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada
posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya.