Agropolitan berasal dari kata Agro yang
berarti pertanian dan politan yang berarti kota. Konsep
pengembangan Agropolitan pertama kali diperkenalkan oleh Friedmann dan Douglass
pada tahun 1975 sebagai siasat untuk pengembangan kawasan. Konsep ini pada
dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan
istilah lain menurut Friedmann adalah “kota di ladang”. Konsep Agropolitan
dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan Tiebout (1957), Isard (1966), Moses
(1966), Hoover (1968), Friedmann dan Douglass (1976).
Agropolitan adalah “kota
pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis
serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (agribisnis) di desa-desa hinterland dan desa-desa wilayah
sekitarnya”. Sedangkan kawasan agropolitan adalah “kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem
produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan
oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem
pemukiman dan sistem agrobisnis” (M’Boy 2014).
Petani atau masyarakat desa tidak
perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan
masalah produksi (teknik budidaya pertanian), kredit modal kerja,
pemasaran/informasi pasar maupun masalah kebutuhan sosial, budaya dan kehidupan
setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat
dekat dengan pemukiman petani. Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran
dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan
produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya
kegiatan pusat Agropolitan.
Peran Agropolitan adalah untuk
melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan
agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk
memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana
produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dll), sarana penunjang produksi
(lembaga perbankan, koperasi, listrik, dll), serta sarana pemasaran (pasar,
terminal angkutan, sarana transportasi) (M’Boy 2014).
Dalam konsep Agropolitan juga
diperkenalkan adanya distrik agropolitan (Agropolitan district) yang
merupakan suatu daerah perdesaan yang mempunyai kepadatan minimal 200 jiwa/km2.
Dalam distrik ini biasanya akan dijumpai kota berpenduduk 10-50 ribu, dan
batas-batas wilayahnya adalah “commuting“ radius (lingkar pulang-pergi)
antara 5-10 km. Ukuran ini menjadikan penduduk distrik umumnya berkisar antara
50 – 150 ribu jiwa, dan sebagian besar pada mulanya bekerja di bidang pertanian
(Friedmann dan Douglass 1976).
Jasa-jasa dan pelayanan yang
disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya
setempat. Distrik Agropolitan perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi
tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan. Pusat-pusat
pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan
masyarakat perdesaan yang volume permintaan dan penawarannya masih terbatas dan
jenisnya berbeda.