Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup
kelelawar. Kebanyakan jenis kelelawar
hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian makan. Menurut Zukal et al. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam
koloni adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan
reproduksi, dan thermoregulation.
Altringham (1996) menjelaskan tiga
perilaku produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni kelelawar, yaitu
1) mengikuti (following
behaviour), yaitu perilaku
yang menyebabkan anggota dalam koloni bersama-sama menuju suatu lokasi tempat
pencarian makan atau tempat bersarang; 2) penanda hubungan sosial (sosial signal), yaitu pemahaman signal-signal intensional,
termasuk signal tanda bahaya; 3) belajar (learning behaviour),
yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak yang menyebabkan kelelawar muda
mampu mengembangkan teknik pencarian makan, menghindari dari predator, serta
hal-hal yang menguntungkan bagi kehidupannya. Willis & Brigham (2004)
meneliti pembagian sarang (roost
sharing) dan kebersamaan
sosial (sosial cohesion) kelelawar Eptesicus fuscus (Microchiroptera) di Cypres Hill Canada. Hasil penelitian membuktikan bahwa interaksi sosial dan
kerja sama intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan ketahanan terhadap
gangguan predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua
Robertson Australia membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar
dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC. Pada musim dingin,
keadaan ini menguntungkan kelelawar karena mengurangi energi yang diperlukan
untuk menghangatkan tubuh.
Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam
memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di
atap rumah, dan di dalam gua (M’Boy 2014). Menurut Altringham (1996), pemilihan
sarang mempengaruhi distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian
makan, strategi kawin, struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn
& Hager (2005) proses yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup
kompleks. Ketersediaan tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi
perilaku pencarian makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi
oleh kelimpahan dan penyebaran makanan.
Dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa keuntungan,
yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator, memperkecil
energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer informasi tempat
mencari makan dan tempat bersarang (Baudinette et al. 2003; Wilis & Brigham
2004). Penelitian Willis & Brigham (2004) dan juga penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa
kelelawar mempunyai home instinct yang kuat, sarang yang dipilih kelelawar
dipertahankan sampai beberapa generasi. Namun demikian apabila sarang mendapat gangguan
dan kelelawar tidak nyaman dan aman,
sarang ini akan ditinggalkan (Willis & Brigham 2004).
Kebanyakan kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) bersarang
di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang Megachiroptera biasanya
tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun (Altringham 1996). Menurut Campbell
et al. (1996), pohon
tempat bersarang kelelawar biasanya menyediakan akses yang mudah menuju tempat
pencarian makan (central place foraging) dan mempunyai pencahayaan yang
cukup bagi perkembangan anakan. Penelitian Storz et al. (2000) pada sarang kelelawar Cyanopterus
sphinx (Megachiroptera) di India Barat mendapatkan tanaman palem (Caryota
urens: Palmaea) ditempati oleh 1 individu jantan dewasa, 37 individu
betina dewasa, dan 33 individu anakan. Penelitian Soegiharto & Kartono
(2009) mendapatkan kelelawar Megachiroptera: Pteropus vampirus menempati
tanaman kelapa (Cocos nucifera: Palmaea), kepuh (Sterculia foetida:
Malvaceae), dan kapuk (Ceiba pentandra: Malvaceae) di Kebun Raya Bogor.
Tanaman yang dipilih oleh kelelawar sebagai tempat bersarang memiliki
ketinggian yang cukup untuk menghindari gangguan predator serta memiliki tajuk
yang relatif lebar dan mendatar (M’Boy 2014).
Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam
koloni kecil atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah Rousettus
amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto
2001). Penelitian Doyle (1979) di Gua Pondok Malaysia mendapatkan Eonycteris
spelaea dengan jumlah dua puluh individu dan Megaderma lyra hanya
lima individu bersarang dalam gua.
Sebaliknya, ordo Microchiroptera bersarang di pohon dalam
jumlah sedikit. Microchiroptera lebih menyukai bersarang di bangunan buatan
manusia, di celah batuan atau di gua dibandingkan pada dahan pohon. Penelitian
Campbell et al. (1996) di hutan
Pasific Northwest Amerika Serikat mendapatkan kelelawar Lasionycteri
noctivagans (Vespertilionidae: Microchiroptera) bersarang pada pohon pinus
(Pinus ponderosa: Pinaceae) dan pinus putih (Pinus monticola: Pinaceae).
Law & Chidel (2002) meneliti sarang dan ekologi pencarian makan kelelawar Kerivoula
papuensis (Vespertilionidae: Microchiroptera) di hutan hujan New South
Wales Australia. Sebanyak 11 individu kelelawar ditangkap di sekitar hutan dan diberi
radiotracking. Lima puluh empat persen (54%) diantaranya bersarang di
pohon yang jaraknya 5.2 km dari sungai, dan dua puluh tiga persen (23%)
bersarang di pohon yang jaraknya 2.7 km dari sungai, dua puluh tiga persen
(23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2 km. Jumlah individu dalam koloni
sarang ternyata tidak lebih dari 10 individu. Tanaman yang digunakan sebagai
sarang adalah pohon jeruk (Flindersia australis: Rutaceae). Russo
et al. (2003) meneliti seleksi
sarang oleh kelelawar jenis Barbastella barbastellus (Vespertilionidae:
Microchiroptera) di hutan Italia. Tanaman pada hutan yang tidak ditebang lebih
banyak dihuni kelelawar Barbastella
barbastellus daripada di hutan yang telah mengalami penebangan. Hal ini
karena di hutan yang belum ditebang lebih banyak terdapat tanaman tua (hampir
mati) dengan kulit kayu mengelupas, tinggi, dan sedikit daun.
Kebanyakan jenis Microchiroptera bersarang di gua dalam
jumlah besar. Menurut Altringham (1996); Zahn & Hager (2005) beberapa
jenis kelelawar memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi gua yang
lembap, suhu stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi demikian,
kelelawar kelompok Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan air akibat
evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari
kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut
Ruczynsi et al. (2007)
kelelawar Microchiroptera memiliki alat pendengaran yang sangat sensitif pada
gelombang suara, terutama gelombang pantul (echolokasi) berfrekuensi
ultrasonik ( > 20 KHz).
Hasil penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa koloni kelelawar betina Rhinolopus
hipposideros (Rhinolophidae : Microchiroptera) pada masa produktif
cenderung memilih ruang bawah tanah dengan suhu rata rata 2oC lebih
dingin dan lebih stabil dibandingkan lokasi lainnya. Pada masa hamil dan
menyusui, sebenarnya kelelawar lebih membutuhkan suhu hangat. Meskipun lebih
dingin, ruang bawah tanah lebih dipilih sebagai tempat bersarang karena
mempunyai suhu stabil. Penelitian Zahn & Hager (2005) juga menunjukkan
bahwa kelelawar jenis Myotis daubentonii (Vespertilionidae: Microchiroptera)
ditemukan bereproduksi di gua-gua di Eropa Tengah yang juga dijadikan tempat
bersarang bagi kelelawar muda dan jantan dewasa. M. daubentonii jantan
biasanya menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan M. daubentonii betina.
Hasil penelitian Apriandi et al. (2008) pada kelelawar penghuni gua di Karst Cibinong menunjukkan
dalam satu gua ditemukan dua koloni kelelawar Hipposideros larvatus (Hipposideridae:
Microchiroptera) bersarang di satu gua yang sama. Tiap jenis kelelawar
memilih sarang dalam gua dengan jarak dari mulut gua berbeda. Hasil penelitian
Maryanto & Maharadatunkamsi (1991) pada gua-gua di Pulau Sumbawa
mendapatkan jenis Rhinolophus luctus (Rhinolopodidae: Microchiroptera)
menyukai tempat bersarang di ujung gua. Dunn (1978) mendapatkan Hipposideros
diadema (Hipposideridae: Microchiroptera) dan H. armiger di atap gua
pada jarak 200 kaki dari mulut Gua Anak Takun Malaysia. Dengan memilih sarang
jauh dari mulut gua, kelelawar dapat terhindar dari gangguan manusia dan
predator serta dapat memilih mikroklimat yang stabil dan sesuai bagi tubuhnya.
Tetapi, pemilihan sarang dengan jarak jauh dari mulut gua harus didukung oleh
kemampuan orientasi ruang dalam keadaan gelap dan kemampuan terbang dalam ruang
dengan banyak rintangan. Penelitian Safi & Kerth (2004) pada 35 jenis
kelelawar Microchiroptera di zona temperate Eropa dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa kelelawar yang mempunyai tulang-tulang jari (phalanges) sayap
panjang hanya mampu mengeksploitasi habitat dengan kanopi terbuka. Sebaliknya
kelelawar yang memiliki tulang jari sayap pendek, lebih mampu mengeksploitasi
habitat berkelok-kelok dan banyak rintangan. Oleh karena itu, kelelawar yang
mampu bersarang pada lokasi jauh dari mulut gua kemungkinan adalah kelelawar
dengan tulang jari sayap pendek.