Friday, February 27, 2015

Perilaku Bersarang Kelelawar



Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup kelelawar. Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian makan. Menurut Zukal et al. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam koloni adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan reproduksi, dan thermoregulation. Altringham (1996) menjelaskan tiga perilaku produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni kelelawar, yaitu 1) mengikuti (following behaviour), yaitu perilaku yang menyebabkan anggota dalam koloni bersama-sama menuju suatu lokasi tempat pencarian makan atau tempat bersarang; 2) penanda hubungan sosial (sosial signal), yaitu pemahaman signal-signal intensional, termasuk signal tanda bahaya; 3) belajar (learning behaviour), yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak yang menyebabkan kelelawar muda mampu mengembangkan teknik pencarian makan, menghindari dari predator, serta hal-hal yang menguntungkan bagi kehidupannya. Willis & Brigham (2004) meneliti pembagian sarang (roost sharing) dan kebersamaan sosial (sosial cohesion) kelelawar Eptesicus fuscus (Microchiroptera) di Cypres Hill Canada. Hasil penelitian membuktikan bahwa interaksi sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan ketahanan terhadap gangguan predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua Robertson Australia membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC. Pada musim dingin, keadaan ini menguntungkan kelelawar karena mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan tubuh.

Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah, dan di dalam gua (M’Boy 2014). Menurut Altringham (1996), pemilihan sarang mempengaruhi distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian makan, strategi kawin, struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn & Hager (2005) proses yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup kompleks. Ketersediaan tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi perilaku pencarian makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi oleh kelimpahan dan penyebaran makanan.

Dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa keuntungan, yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator, memperkecil energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer informasi tempat mencari makan dan tempat bersarang (Baudinette et al. 2003; Wilis & Brigham 2004). Penelitian Willis & Brigham (2004) dan juga penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa kelelawar mempunyai home instinct yang kuat, sarang yang dipilih kelelawar dipertahankan sampai beberapa generasi. Namun demikian apabila sarang mendapat gangguan dan kelelawar tidak nyaman dan aman, sarang ini akan ditinggalkan (Willis & Brigham 2004).

Kebanyakan kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) bersarang di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang Megachiroptera biasanya tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun (Altringham 1996). Menurut Campbell et al. (1996), pohon tempat bersarang kelelawar biasanya menyediakan akses yang mudah menuju tempat pencarian makan (central place foraging) dan mempunyai pencahayaan yang cukup bagi perkembangan anakan. Penelitian Storz et al. (2000) pada sarang kelelawar Cyanopterus sphinx (Megachiroptera) di India Barat mendapatkan tanaman palem (Caryota urens: Palmaea) ditempati oleh 1 individu jantan dewasa, 37 individu betina dewasa, dan 33 individu anakan. Penelitian Soegiharto & Kartono (2009) mendapatkan kelelawar Megachiroptera: Pteropus vampirus menempati tanaman kelapa (Cocos nucifera: Palmaea), kepuh (Sterculia foetida: Malvaceae), dan kapuk (Ceiba pentandra: Malvaceae) di Kebun Raya Bogor. Tanaman yang dipilih oleh kelelawar sebagai tempat bersarang memiliki ketinggian yang cukup untuk menghindari gangguan predator serta memiliki tajuk yang relatif lebar dan mendatar (M’Boy 2014).

Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam koloni kecil atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah Rousettus amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto 2001). Penelitian Doyle (1979) di Gua Pondok Malaysia mendapatkan Eonycteris spelaea dengan jumlah dua puluh individu dan Megaderma lyra hanya lima individu bersarang dalam gua.

Sebaliknya, ordo Microchiroptera bersarang di pohon dalam jumlah sedikit. Microchiroptera lebih menyukai bersarang di bangunan buatan manusia, di celah batuan atau di gua dibandingkan pada dahan pohon. Penelitian Campbell et al. (1996) di hutan Pasific Northwest Amerika Serikat mendapatkan kelelawar Lasionycteri noctivagans (Vespertilionidae: Microchiroptera) bersarang pada pohon pinus (Pinus ponderosa: Pinaceae) dan pinus putih (Pinus monticola: Pinaceae). Law & Chidel (2002) meneliti sarang dan ekologi pencarian makan kelelawar Kerivoula papuensis (Vespertilionidae: Microchiroptera) di hutan hujan New South Wales Australia. Sebanyak 11 individu kelelawar ditangkap di sekitar hutan dan diberi radiotracking. Lima puluh empat persen (54%) diantaranya bersarang di pohon yang jaraknya 5.2 km dari sungai, dan dua puluh tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2.7 km dari sungai, dua puluh tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2 km. Jumlah individu dalam koloni sarang ternyata tidak lebih dari 10 individu. Tanaman yang digunakan sebagai sarang adalah pohon jeruk (Flindersia australis: Rutaceae). Russo et al. (2003) meneliti seleksi sarang oleh kelelawar jenis Barbastella barbastellus (Vespertilionidae: Microchiroptera) di hutan Italia. Tanaman pada hutan yang tidak ditebang lebih banyak dihuni kelelawar Barbastella barbastellus daripada di hutan yang telah mengalami penebangan. Hal ini karena di hutan yang belum ditebang lebih banyak terdapat tanaman tua (hampir mati) dengan kulit kayu mengelupas, tinggi, dan sedikit daun.

Kebanyakan jenis Microchiroptera bersarang di gua dalam jumlah besar. Menurut Altringham (1996); Zahn & Hager (2005) beberapa jenis kelelawar memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi gua yang lembap, suhu stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi demikian, kelelawar kelompok Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut Ruczynsi et al. (2007) kelelawar Microchiroptera memiliki alat pendengaran yang sangat sensitif pada gelombang suara, terutama gelombang pantul (echolokasi) berfrekuensi ultrasonik ( > 20 KHz).

Hasil penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa koloni kelelawar betina Rhinolopus hipposideros (Rhinolophidae : Microchiroptera) pada masa produktif cenderung memilih ruang bawah tanah dengan suhu rata rata 2oC lebih dingin dan lebih stabil dibandingkan lokasi lainnya. Pada masa hamil dan menyusui, sebenarnya kelelawar lebih membutuhkan suhu hangat. Meskipun lebih dingin, ruang bawah tanah lebih dipilih sebagai tempat bersarang karena mempunyai suhu stabil. Penelitian Zahn & Hager (2005) juga menunjukkan bahwa kelelawar jenis Myotis daubentonii (Vespertilionidae: Microchiroptera) ditemukan bereproduksi di gua-gua di Eropa Tengah yang juga dijadikan tempat bersarang bagi kelelawar muda dan jantan dewasa. M. daubentonii jantan biasanya menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan M. daubentonii betina.

Hasil penelitian Apriandi et al. (2008) pada kelelawar penghuni gua di Karst Cibinong menunjukkan dalam satu gua ditemukan dua koloni kelelawar Hipposideros larvatus (Hipposideridae: Microchiroptera) bersarang di satu gua yang sama. Tiap jenis kelelawar memilih sarang dalam gua dengan jarak dari mulut gua berbeda. Hasil penelitian Maryanto & Maharadatunkamsi (1991) pada gua-gua di Pulau Sumbawa mendapatkan jenis Rhinolophus luctus (Rhinolopodidae: Microchiroptera) menyukai tempat bersarang di ujung gua. Dunn (1978) mendapatkan Hipposideros diadema (Hipposideridae: Microchiroptera) dan H. armiger di atap gua pada jarak 200 kaki dari mulut Gua Anak Takun Malaysia. Dengan memilih sarang jauh dari mulut gua, kelelawar dapat terhindar dari gangguan manusia dan predator serta dapat memilih mikroklimat yang stabil dan sesuai bagi tubuhnya. Tetapi, pemilihan sarang dengan jarak jauh dari mulut gua harus didukung oleh kemampuan orientasi ruang dalam keadaan gelap dan kemampuan terbang dalam ruang dengan banyak rintangan. Penelitian Safi & Kerth (2004) pada 35 jenis kelelawar Microchiroptera di zona temperate Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa kelelawar yang mempunyai tulang-tulang jari (phalanges) sayap panjang hanya mampu mengeksploitasi habitat dengan kanopi terbuka. Sebaliknya kelelawar yang memiliki tulang jari sayap pendek, lebih mampu mengeksploitasi habitat berkelok-kelok dan banyak rintangan. Oleh karena itu, kelelawar yang mampu bersarang pada lokasi jauh dari mulut gua kemungkinan adalah kelelawar dengan tulang jari sayap pendek.

No comments:

Post a Comment