Wednesday, February 11, 2015

Mengenal Komunitas Fauna Gua Karst



Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan (M’Boy 2014). Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).

Pada kawasan karst, penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia (Ko 2004). Jenis-jenis burung diantaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar) (M’Boy 2014). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)

Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae: Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas: kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas: kalajengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Insekta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera: Insekta), kecoa (Blatodea: Insekta), dan kumbang (Colleoptera: Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-laba (Arachnidae: Decapoda).

Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001); Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi:
1.     Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis: Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros: Insecta).

2. Troglozene, yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa menggunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).

3. Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp.: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.

No comments:

Post a Comment