Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan
lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus
sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau
(autotrof) tidak ditemukan (M’Boy 2014). Meskipun demikian, menurut Ko (2004),
ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi
didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air,
debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal
dari hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).
Pada kawasan karst, penghubung utama antara ekosistem luar
gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia (Ko 2004). Jenis-jenis burung
diantaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica),
sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar) (M’Boy 2014). Menurut
Whitten et al. (1999) dan
Sinaga et al. (2006)
fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan
jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu
gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 1.
Gambar
1. Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)
Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup
di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu
fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna
yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain.
Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri
atas : lalat (Muscoidae: Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri
atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae:
Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik
(Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri
atas: kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas: kalajengking (Scorpionidae:
Arachnida) , semut (Formicidae: Insekta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia).
Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas
(Collembola: Insekta), lalat (Diptera: Insekta), kecoa (Blatodea: Insekta), dan
kumbang (Colleoptera: Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut
kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-laba (Arachnidae:
Decapoda).
Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua
harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan
waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008)
menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat
gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4)
mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.
Menurut Suyanto (2001); Espinasa & Vuong (2008)
berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi:
1. Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai
dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih berfungsinya
indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap
gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit
merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa
& Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma:
Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna
troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting
(Sesarmoides jacobsoni: Crustacea), Udang putih (Macrobrachium poeti:
Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian
Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna
troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium
pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea),
dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian
Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna
troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting
gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides
emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang
gua (Eustra saripaensis: Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella
maros: Insecta).
2. Troglozene, yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk
berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar
gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene
telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen &
Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu
kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20
KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa
menggunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam
ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke
dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia
adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung
sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).
3. Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum
mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi
jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua,
fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan
kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua.
Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora
dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater:
Insekta), laba-laba (Liphistius sp.: Arachnidae), dan keong (Thiara
scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang
sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.
No comments:
Post a Comment