Wednesday, December 24, 2014

Adaptasi Struktural dan Fisiologi Pernapasan Kelelawar (Bagian II)

Kondisi ruang gua yang sempit, sirkulasi udara terbatas, dan banyak dihuni kelelawar menyebabkan udara dalam gua menjadi rendah oksigen (hypoxic), tinggi karbon dioksida (hypercapnic), dan tinggi gas amonia (Baudinette et al. 1994). Keadaan ini kurang menguntungkan bagi hewan gua karena: 1) kurangnya oksigen dapat menyebabkan respirasi terhambat; 2) tingginya karbon dioksida dapat menyebabkan afinitas hemoglobin pada oksigen menurun (M’Boy 2014); dan 3) tingginya konsentrasi gas amonia (NH3) dapat menyebabkan gangguan metabolisme, iritasi epitel organ pernapasan serta gangguan fisiologi saraf (Hutabarat et al. 2000). Oleh karena itu, agar dapat bertahan hidup dalam gua, kelelawar harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Untuk bertahan hidup dan berkembang dalam suatu habitat, hewan harus mengembangkan strategi, diantaranya strategi adaptasi pada habitat (Alikodra 2010).

Penelitian Baudinette et al. (1994) di Afrika Selatan membuktikan bahwa kelelawar Miniopterus schreibersii (Vespertilionidae: Microchiroptera) dapat hidup pada gua dengan kondisi udara rendah oksigen (hypoxic) dan tinggi karbon dioksida (hypercapnic). Jumlah populasi kelelawar yang besar pada gua tersebut menyebabkan oksigen yang digunakan untuk respirasi lebih besar dibandingkan oksigen yang masuk ke dalam gua. Sebaliknya karbon diokasida yang dihasilkan dari proses respirasi menambah jumlah karbon dioksida yang terperangkap di dalam gua (Baudinette et al. 1994).

Kelelawar juga dapat bertahan hidup pada gua dengan kandungan amonia tinggi (Suyanto 2001). Urin dan feses (guano) kelelawar Hipposideros speoris (Hipposideridae: Microchiroptera) tersusun atas 5.7 ± 1.5% nitrogen (N) berbentuk amonia (NH3). Amonia tersebut merupakan hasil katabolisme protein (Sridhar et al. 2006). Amonia pada guano dapat menguap menjadi gas bercampur dengan komponen udara lainnya. Hal ini menyebabkan kandungan amonia udara meningkat tajam (Shidar et al. 2006). Kelelawar gua dapat bertahan pada kandungan amonia udara mencapai 5000 ppm, sedangkan manusia hanya mampu bertahan pada kandungan amonia udara maksimum sebesar 100 ppm (Suyanto 2001).

Strategi adaptasi kelelawar yang bersarang di gua dengan kondisi dingin dan lembap menunjukkan laju respirasi kelelawar Macroderma gigas (Megadermatidae: Microchiroptera) dan Rhinonycteris aurantias (Hipposideridae: Microchiroptera) Australia, menyesuaikan dengan suhu dan kelembapan udara dalam gua. Pada saat kondisi udara kering dan dingin (kelembapan <60% dan suhu < 5.6oC) laju respirasi sama dengan pada saat kondisi udara lembap dan hangat (kelembapan > 80%; suhu > 9.8oC). Tetapi bila kondisi udara lembap dan dingin (kelembapan < 60% dan suhu < 9oC) laju respirasinya meningkat tajam. Meningkatnya laju respirasi tersebut merupakan strategi agar tubuh tetap hangat (Baudinette et al. 2000). Namun demikian, sejauh ini belum ada penelitian mengenai strategi adaptasi fisiologi dan anatomi pernapasan kelelawar untuk bertahan hidup pada kondisi hypoxic, hypercapnic, dan tinggi amonia (M’Boy 2014).

Organ respirasi mamalia terdiri atas: 1) lubang hidung (nasale), berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara yang masuk ke dalam organ pernapasan; 2) laring, berfungsi melindungi jalan napas bawah dari obstruksi (masuknya) benda asing; 3) trachea, berfungsi menghantarkan udara ke paru-paru; 4) bronchus, merupakan percabangan trakhea; dan 5) alveolus, merupakan membran tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida (Frandson 1992)

Bagian terpenting dari organ pernapasan adalah alveolus, yaitu tempat oksigen berdifusi ke dalam sel dan karbon dioksida berdifusi keluar sel (M’Boy 2014). Dinding alveolus sangat tipis dan di dalamnya banyak terdapat kapiler darah yang saling berhubungan. Kondisi demikian memudahkan pertukaran gas antara membran alveolus dan membran kapiler darah. Difusi oksigen dari alveolus ke dalam kapiler darah dan difusi karbon dioksida dengan arah berlawanan (Guyton 1995).

Pertukaran gas respirasi melewati membran alveolus berlangsung sangat efektif. Hal ini karena permukaan membran alveolus sangat tipis. Selain itu, dengan bentuk seperti gelembung-gelembung udara, luas permukaan membran menjadi sangat besar (Guyton 1995). Hasil penelitian Setiadi (2000) menunjukkan kelelawar Scotophilus kuhli (Vespertilionidae: Microchiroptera) memiliki alveolus lebih kecil dan rapat dibandingkan alveolus tikus (Mus musculus). Menurut Plopper & Adams (1993), alveolus beberapa mamalia berukuran kecil dan rapat sehingga permukaan respirasinya lebih luas. Permukaan respirasi yang luas menyebabkan paru-paru mampu mengikat oksigen lebih banyak. Luas permukaan membran alveolus ini dapat berkurang karena rusaknya dinding alveolus. Kerusakan tersebut diantaranya adalah karena emfisema, yaitu keadaan alveolus bersatu disebabkan terpapar gas racun atau karena infeksi kuman (Guyton 1995). Setelah oksigen berdifusi dari alveolus ke kapiler darah dan karbon dioksida berdifusi dari kapiler darah ke alveolus, selanjutnya oksigen akan diangkut oleh darah ke seluruh jaringan tubuh oleh sel darah merah (eritrosit) (M’Boy 2014).

Karena adanya unsur hemoglobin dalam eritrosit, maka eritrosit dapat mengikat oksigen dan karbon dioksida. Eritrosit mamalia berbentuk cakram bikonkaf. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen. Jumlah eritrosit juga berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit hewan adalah kondisi nutrisi, aktivitas fisik, umur, dan lingkungan. Penurunan kadar oksigen (hipoksia) akan merangsang ginjal untuk melepaskan enzim eritrogenin (erythrogenin). Selanjutnya, enzim tersebut akan mengaktifkan eritropoietinogen yang merupakan prekursor dalam pembentukan eritopoietin. Di dalam sumsum tulang, eritropoietin akan meningkatkan jumlah sel bakal (stem cell). Sel bakal ini akan menjadi prekursor darah merah dan selanjutnya menjadi sel darah merah (Ganong 2001). Hewan yang terpapar oksigen rendah selama bertahun-tahun menunjukkan peningkatan jaringan hipoksik dan peningkatan jumlah sel darah merah sampai 20% (Guyton 1995).

Kemampuan sel darah merah mengikat oksigen disebabkan adanya hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein yang berikatan dengan porphyrin. Di bagian tengah molekul porphyrin tersebut terdapat satu atom besi (Fe) (MandongaBoy 2014). Menurut Ganong (2001) hemoglobin mamalia tersusun atas empat subunit protein berbentuk globul (bola). Satu subunit dapat membawa satu molekul oksigen, dengan demikian setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat molekul oksigen.

Hemoglobin yang mengikat oksigen disebut oksihemoglobin. Afinitas (daya ikat) hemoglobin pada oksigen dipengaruhi oleh suhu tubuh, keasaman (pH) darah, dan konsentrasi bahan-bahan kimia dalam darah. Pada keadaan suhu udara rendah, tekanan oksigen tinggi dan keasaman darah tinggi, afinitas hemoglobin pada oksigen meningkat. Sebaliknya pada kondisi tekanan oksigen rendah, suhu tinggi, dan keasaman rendah afinitas hemoglobin pada oksigen menurun (Ganong 2001). Sebagai contoh, dalam keadaan normal, 100 mL darah manusia mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen. Penelitian Fatmawati (2007), mendapatkan kandungan hemoglobin anjing (Canis familiaris) 11.8 ± 1.13 g/mm3. Menurut Frandson (1992) jumlah hemoglobin hewan mamalia berada pada kisaran 12 – 18 g/mm3.

No comments:

Post a Comment