Kondisi
ruang gua yang sempit, sirkulasi udara terbatas, dan banyak dihuni kelelawar
menyebabkan udara dalam gua menjadi rendah oksigen (hypoxia), tinggi
karbon dioksida (hypercapnic), dan tinggi gas amonia (Baudinette et al.
1994). Keadaan ini kurang menguntungkan bagi hewan gua karena: 1) kurangnya
oksigen dapat menyebabkan respirasi terhambat (Guyton 1995); 2) tingginya
karbon dioksida dapat menyebabkan afinitas hemoglobin pada oksigen
menurun (Guyton 1995); dan 3) tingginya konsentrasi gas amonia (NH3) dapat
menyebabkan gangguan metabolisme, iritasi epitel organ pernapasan serta
gangguan fisiologi saraf (Hutabarat et al. 2000). Oleh karena itu, agar
dapat bertahan hidup dalam gua, kelelawar harus beradaptasi pada keadaan
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Alikodra (2010) bahwa untuk bertahan
hidup dan berkembang dalam suatu habitat, hewan harus mengembangkan strategi,
diantaranya strategi adaptasi pada habitat.
Hasil
penelitian Baudinette et al. (1994) di Afrika Selatan membuktikan bahwa kelelawar
Miniopterus schreibersii (Vespertilionidae: Microchiroptera) dapat hidup
pada gua dengan kondisi udara rendah oksigen (hypoxic) dan tinggi karbon
dioksida (hypercapnic). Jumlah populasi kelelawar yang besar pada gua
tersebut menyebabkan oksigen yang digunakan untuk respirasi lebih besar
dibandingkan oksigen yang masuk ke dalam gua. Sebaliknya karbon diokasida yang
dihasilkan dari proses respirasi menambah jumlah karbon dioksida yang
terperangkap di dalam gua (Baudinette et
al. 1994).
Suyanto
(2001) menjelaskan bahwa kelelawar juga dapat bertahan hidup pada gua dengan
kandungan amonia tinggi. Penelitian Sridhar et al. (2006) mendapatkan urin dan feses (guano)
kelelawar Hipposideros speoris (Hipposideridae: Microchiroptera) tersusun
atas 5.7 ± 1.5% nitrogen (N) berbentuk amonia (NH3). Amonia tersebut
merupakan hasil katabolisme protein. Amonia dalam guano dapat menguap menjadi
gas bercampur dengan komponen udara lainnya. Hal ini menyebabkan kandungan
amonia udara meningkat tajam (Shidar et
al. 2006). Hutabarat (2000) melakukan penelitian pada karyawan
pabrik lateks yang terkena paparan amonia sebesar 500 ppm sampai 600 ppm selama
60 hari. Hasil penelitian menunjukkan karyawan yang terkena paparan amonia
mengalami gejala sebagai berikut: tenggorokan kering (80%); jalan pernapasan
kering (73.3%); mata perih (66.67%); batuk (53.3%); dan pingsan (6.67%). Kelelawar
gua dapat bertahan pada kandungan amonia udara mencapai 5000 ppm, sedangkan
manusia hanya mampu bertahan pada kandungan amonia udara maksimum sebesar 100
ppm (Suyanto 2001).
Penelitian
tentang strategi adaptasi kelelawar
yang bersarang di gua dengan kondisi dingin dan lembap pernah dilakukan oleh
Baudinette et al. (2000)
di Australia. Hasil penelitian menunjukkan laju respirasi kelelawar Macroderma
gigas (Megadermatidae: Microchiroptera) dan Rhinonycteris aurantias (Hipposideridae:
Microchiroptera) menyesuaikan dengan suhu dan kelembapan udara dalam gua. Pada
saat kondisi udara kering dan dingin (kelembapan <60% dan suhu <5.6oC)
laju respirasi sama dengan pada saat kondisi udara lembap dan hangat
(kelembapan >80% ; suhu >9.8oC). Tetapi bila kondisi udara lembap
dan dingin (kelembapan <60% dan suhu <9oC) laju respirasinya
meningkat tajam. Meningkatnya laju respirasi tersebut merupakan strategi agar
tubuh tetap hangat. Namun demikian, sejauh ini belum ada penelitian mengenai
strategi adaptasi fisiologi dan anatomi pernapasan kelelawar untuk
bertahan hidup pada kondisi hypoxic, hypercapnic, dan tinggi amonia.