Ice-ice adalah penyakit
yang banyak menyerang tanaman rumput laut jenis Kappaphycus
alvarezii. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Philipina, ditandai
dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak pada sebagian tallus yang
lama-kelamaan kehilangan warna dan berangsur-angsur menjadi putih dan mudah
terputus. Penyakit ice-ice timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman
rumput laut yang lemah (Sudjiharno 2001). Lebih lanjut Anonim (2001),
menyatakan bahwa keberadaan orthophosphate (P2O5) yang
dibutuhkan dalam proses asimilasi tanaman rumput
laut yang tidak mencukupi diduga sebagai salah satu penyebab atas timbulnya
penyakit ice-ice. Largo et al. (1999)
menyatakan bahwa penyakit ice-ice pada rumput laut disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. dimana
sel-sel yang terinfeksi oleh bakteri ini mampu berkembang hanya dalam
waktu 1-2 jam pada tallus yang sudah
terinfeksi dan memerlukan waktu 24 jam bagi thallus yang masih sehat.
Penyakit ice-ice
biasanya terjadi pada bulan April atau Mei di daerah-daerah dengan kecerahan
perairan tinggi. Pada kondisi ini tingkat kelarutan unsur Nitrat tidak
tercukupi untuk keperluan fotosintesis sehingga berakibat terjadinya perubahan
warna secara nyata. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan cara menurunkan
posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula untuk mengurangi penetrasi sinar
matahari (Kurniastuty et al. 2001).
Di teluk Lewoleba, Kelurahan Lewoleba Utara sampai pantai Wangatoa,
Kelurahan Lewoleba Timur, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, penyakit ‘ice-ice’ menyerang
rumput laut rutin setiap tahun setelah musim hujan. Tanda-tandanya, batang
rumput laut berwarna kuning, lemas kemudian jatuh ke dasar laut. Masa budidaya
yang baik hanya pada waktu musim hujan. Ketika itu rumput laut sangat subur
dengan batang ukuran sebesar ibu jari tangan orang dewasa. Jika rumput laut
yang terserang ice-ice berwarna kuning dan hampir patah batangnya,
rumput laut yang sehat berwarna kecoklatan.
Pada rumput laut yang
terkena ice-ice banyak
ditemukan jenis bakteri, tetapi hal tersebut adalah masalah kedua (Neish 2005).
Doty
(1987) mencatat bahwa penyakit ice-ice bersifat musiman dan berhubungan dengan
perubahan pada musim hujan. Largo et al. (1995)
menunjukkan bahwa terdapat bakteri tertentu yang dapat merangsang terbentuknya
ice-ice pada tallus yang stress dan tercatat bahwa beberapa faktor abiotik
(suhu, salinitas, kecepatan arus, dll) tersebut dapat menimbulkan gejala
Penyakit ice-ice sering kali terjadi di daerah-daerah dengan kecerahan
tinggi, dengan gejala timbulnya bintik-bintik/bercak-bercak pada sebagian
tallus, namun lama-kelamaan akan menyebabkan kehilangan warna sampai menjadi putih
dan mudah terputus. Penyakit ini menyerang Eucheuma spp. terutama
disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan (arus, suhu, kecerahan, dan lain
lain.) di lokasi budidaya dan berjalan dalam waktu yang cukup lama. Cara
pencegahan dari penyakit ini adalah dengan memonitor adanya perubahan-perubahan
lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan lingkungan. Disamping itu
dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi
cahaya sinar matahari (Anonim 2006).
Kerusakan tanaman akibat ice-ice dapat mencapai 90% sampai 100% bila
kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya
serangan sekunder dari Peryhphyton yang
merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran planktonik,
fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari
kondisi serangan ice-ice
dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococus (Anggadiredja
et. al. 2006).
No comments:
Post a Comment