Thursday, June 5, 2014

Pembenihan Rajungan Skala Hatchery

      Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk dalam kelas crustacea, famili portunidae yang penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan juga banyak ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti kepiting bakau (Scylla serrata). Rajungan merupakan komoditi perikanan yang saat ini banyak diminati, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan mulai dikembangkan pembudidayaannya.  Rajungan telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan, dimana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku ke negara Jepang dan Amerika.
            Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di alam, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Alternatif untuk menghindari kepunahan rajungan adalah melalui pengembangan budidaya rajungan. Kendala yang dihadapi selama ini adalah masih rendahnya persentase sintasan benih yang dihasilkan dan belum ada teknologi pembenihan rajungan yang mudah diaplikasikan.
            Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut tentang teknik pembenihan rajungan guna mendukung kegiatan pembudidayaannya, serta dalam rangka untuk memenuhi stok pasar sehingga dapat menciptakan suatu lapangan kerja baru, dan dapat meningkatkan penghasilan petani budidaya rajungan serta dapat menambah devisa negara melalui ekspor rajungan hasil budidaya.  Selain itu, keberadaan populasi rajungan di alam dapat tetap lestari.
   *      Persyaratan Lokasi
1.  Suplai Air Laut
            Pada umumnya, lokasi hatchery (panti benih) terletak dekat dengan laut/pantai yang profil dasar perairannya bersih dan mudah untuk dijangkau.  Sumber air untuk pemeliharaan larva rajungan berasal dari air laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian disterilkan dengan sodium hipoklorit dan dinetralkan dengan sodium tiosulfat.  Kontrol terhadap kualitas air juga perlu diperhatikan seperti fluktuasi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, ammonia dan nitrit.  Parameter kualitas air untuk kegiatan pembenihan rajungan suhu 27 – 30oC, salinitas 30 – 36 ppt, pH 7.5 – 8.5, DO >5 ppm, ammonia <0.1 ppm, nitrit <0.02 ppm.
2.  Ketersediaan Listrik
            Sebuah sarana hatchery harus dilengkapi dengan listrik yang dapat menunjang kegiatan dan operasional pembenihan. Kegunaan lain dari sumber listrik adalah dapat menunjang kegiatan-kegiatan tambahan yang dilakukan di dalam pembenihan seperti mendukung kegiatan manusia yang beraktifitas di dalamnya.
3.  Jangkauan Transportasi
        Transportasi yang baik didukung dengan kondisi jalan yang baik pula dapat mendukung kegiatan operasional pembenihan. Stress pada organisme yang dibenihkan dan biaya operasional akan dapat diminimalisasi sekecil mungkin apabila sarana yang ada dapat menunjang dan juga pemasaran yang dapat dijangkau dalam waktu yang singkat.
4.  Suplai Air tawar
          Air tawar sangat berguna dalam kegiatan pembenihan.  Air tawar berguna untuk membersihkan material dan tangki-tangki yang ada dari parasit, jamur serta bakteri yang tersisa.

*      Pelaksanaan Hatchery
1.  Syarat Induk
           Menurut Susanto (2005) induk rajungan yang siap dipakai dalam pembenihan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
o   Membawa telur pada abdomennya dengan warna telur orange sampai hitam
o   Panjang karapas sekitar 6,0 – 7,5 cm
o   Lebar karapas sekitar 10 – 15 cm
o   Bobot tubuhnya 200 – 250 gr
Induk rajungan yang mengandung telur banyak terdapat pada bulan Maret sampai Mei dan pada bulan Juni sampai Agustus.  Induk rajungan yang mengandung telur diangkut dengan wadah kantung plastik atau ”box polyester” volume 5 – 10 liter untuk 1 ekor dengan suhu air 30oC, bila capit diikat dapat terisi lebih banyak lagi.  Lama transportasi untuk membawa induk rajungan sampai 1 – 5 jam, dan menggunakan aerasi yang cukup.  Induk rajungan kemudian ditempatkan pada bak beton tertutup dengan kedalaman 50 cm, dan dilakukan pergantian air atau air mengalir.
2.  Penanganan Induk
            Setelah sampai di lokasi pembenihan, semua induk rajungan diadaptasikan dengan kondisi lingkungan pembenihan dan dilakukan perendaman dengan larutan formaldehyde 25mg/L selama 30 menit disertai dengan aerasi terus-menerus untuk mencegah penyakit dan parasit. Kemudian dimasukkan ke dalam bak yang telah disediakan.
            Untuk calon induk yang belum memijah ditempatkan pada bak beton berukuran 250 x 200 x 100 cm3 yang dasarnya diisi pasir halus setebal 5 – 10 cm dengan sistem air mengalir, dengan kepadatan 1 – 2 ekor/m2, dan pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui apakah induk sudah siap untuk memijah.
           Untuk yang telah membawa lipatan telur pada abdomennya ditempatkan secara individu dalam bak fiber glass berdiameter 90 cm, tinggi 80 cm dan volume air sekitar 300 L yang dilengkapi dengan sistem aerasi. Dengan lama inkubasi sampai menetas memerlukan waktu 5 – 8 hari tergantung dari perkembangan embrio, biasanya induk rajungan dengan telur berwarna kuning memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan yang berwarna coklat atau hitam. Selama masa inkubasi dilakukan pergantian air sebanyak 50 – 75% perhari dan induk diberi pakan cumi-cumi yang dipotong kecil sebanyak 5 – 10% dari bobot tubuh. Biasanya telur akan menetas pada waktu malam atau pagi hari antara pukul 20.00 – 24.00 dan pukul 06.00 – 08.00. 
Dari seekor induk rajungan dapat menghasilkan zoea-1 sebanyak 450.000 sampai 950.000 ekor. Hubungan antara induk rajungan dengan jumlah zoea yang dihasilkan sangat erat, dimana semakin besar ukuran induk akan menghasilkan zoea yang semakin banyak pula (Susanto, 2005).
3.  Penanganan Larva
         Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak dengan aerasi, dan mengisi air laut sebanyak ¾ dari volume bak. Suhu media antara 29,5 – 30oC; salinitas 30 – 33 ppt; pH sekitar 8 – 8,5; DO antara 4,5 – 5,2 mg/l; intensitas cahaya 2.500 – 3000 lux.
            Penebaran larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 75 – 100 ind./L. Perkembangan zoea dimonitor setiap hari dengan melihat perubahan bentuk zoea di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk menentukan dosis pakan yang akan diberikan. Stadia zoea I ditandai dengan periopod berjumlah 4 buah, sedangkan zoea II berjumlah 6 buah atau lebih,  zoea III ditandai dengan mulai tumbuhnya pleopod, dan zoea IV pleopod tumbuh lebih panjang.  Setelah itu, larva kemudian bermetamorfosis menjadi megalopa (Susanto 2005).
4.  Pemeliharaan Megalopa
            Setelah larva mencapai stadia megalopa, kemudian dipindahkan ke bak pemeliharaan lain yang lebih luas untuk menghindari kanibalisme. Megalopa tersebut dipelihara sampai menjadi crablet 3 – 5. Pemeliharaan megalopa sampai crablet dilakukan dengan kepadatan 500 – 1.000 ekor/m2, yang dilengkapi dengan shelter berupa batu karang dan lembaran jaring yang digunakan sebagai tempat bersembunyi dan menghindari pemangsaan (kanibalisme) oleh crablet yang lain saat ”moulting” (pergantian kulit). Kanibalisme juga dapat dicegah dengan pemberian pakan yang optimal.  Pergantian air sebanyak 50 – 75%/hari, suhu air antara 29,5 – 32oC, salinitas 28 – 32 ppt dan intensitas cahaya sekitar 3.300 lux  (Susanto 2005).
*      Pakan dalam Pemeliharaan Larva, Megalopa dan Juwana
            Berbagai metode dan jenis pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva rajungan sampai crablet (anak rajungan) adalah berupa rotifer, naupli artemia, pakan tambahan/pakan komersil, dan ikan rucah yang diblender. Pemberian pakan yang cukup kandungan gizinya akan memberikan sintasan yang tinggi.
            Pakan larva rajungan yang diberikan selama pemeliharaan berupa beberapa macam rotifera, naupli artemia, dan pakan komersil (micro diet) yang memiliki ukuran partikel antara 5 – 200 μm; pakan tersebut mengandung protein 48% - 52%; lemak 14,5%; dan serat 3 – 10%. Pakan komersil yang digunakan ada 3 jenis sesuai dengan ukuran partikel pakan tersebut. Pakan zoea I memiliki ukuran partikel 5 – 30 mikron, pakan zoea II & III berukuran 30-90 mikron dan pakan zoea III sampai megalopa berukuran 150 – 200 mikron. Selama pemeliharaan megalopa sampai crablet diberi pakan beberapa jenis pakan yaitu artemia, jambret, cacahan ikan/teri, dan pakan buatan yang berukuran 500 – 800 μm sampai kenyang (Susanto 2005).
             
*      Desain Hatchery
            Bak induk, merupakan tempat pemeliharaan induk rajungan. Bentuk dan ukurannya dapat direkayasa sesuai dengan kebutuhan induk. Bak ini juga dilengkapi dengan sistem aerasi guna menjamin ketersediaan oksigen di dalam bak.
            Bak larva dan post-larva. Larva juga dapat dipelihara pada berbagai bentuk bak tetapi yang lebih sesuai untuk pemeliharaan larva rajungan adalah bentuk bak yang bulat yang ditempatkan di luar ruangan atau ruang kaca. Langkah yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak, dengan mempertahankan suhu air yang konstan; salinitas air 30 – 30 ppt, pH 8 – 8,5, oksigen terlarut 15 – 20 L/ton/menit, dan intensitas cahaya di atas 3.000 lux. Penebaran larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 100 ind./L (Juwana, 2004).
            Bak pakan alami. Berfungsi sebagai wadah kultur pakan alami. Beberapa jenis pakan alami yang dapat dibudidayakan berupa rotifer dan artemia. Bak pakan alami sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya dapat menembus dasar bak. Hal ini dapat memungkinkan laju pertumbuhan dari pakan alami yang dibudidayakan dengan baik. Menurut Juwana (1992), kedalaman yang ideal untuk bak pakan alami adalah berkisar antara 0,5 – 1,5 meter. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah bak pakan alami ini harus sesuai disertai dengan atap transparan yang berfungsi untuk mencegah kontak langsung dengan matahari dan juga rembesan air hujan.
            Bak pemijahan. Berfungsi sebagai wadah pemijahan induk. Biasanya ukuran bak pemijahan ini lebih kecil dari bak yang lain. Ukuran ideal dari bak pemijahan ini adalah 0,25 – 1 ton dengan kedalaman sekitar 50 cm. Desain fisik dari bak pemijahan ini adalah untuk mencegah penetrasi cahaya matahari sehingga perkembangan telur nantinya tidak terganggu oleh alga.
            Bak penampungan air. Berfungsi sebagai wadah penampungan air yang terlebih dahulu melalui proses filtrasi dan klorinasi. Ukuran dari bak ini harus disesuaikan dengan kapasitas total bak-bak yang lainnya. Umumnya jumlah dari bak penampungan air ini lebih dari satu unit (disarankan terdiri dari 2 – 3 bak penampungan) guna menjaga kemungkinan apabila ada salah satu bak yang dibersihkan (disucihamakan).
            Sistem aerasi. Berguna menjaga kadar oksigen di dalam air dan menjamin kelangsungan hidup plankton dalam bak. Kesesuaian sistem aerasi yang ada dengan skala produksi perlu diperhatikan. Apabila kegiatan pembenihan yang dilakukan dalam skala besar/menengah, kita bisa menggunakan blower atau kompresor, sedangkan apabila kita melakukan kegiatan pembenihan dalam skala kecil cukup hanya menggunakan aerasi aquarium.
            Pompanisasi. Air laut yang terdapat di bak penampungan ataupun dari laut yang akan ditransfer ke dalam bak larva harus melalui proses pompanisasi. Tipe dan ukuran pompa harus disesuaikan dengan total volume air yang digunakan per hari dan lama waktu penggunaannya. Secara teknis, desain hatchery rajungan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Desain Hatchery/Panti Benih Rajungan

Keterangan :
A  :  Rumah Pompa                                         E  :  Bak pemeliharaan megalopa
B  :  Bak penampungan air                              F  :  Bak pemeliharaan juvenil
C  :  Bak induk/pemijahan                              G  :  Bak pakan alami
D  :  Bak pemeliharaan larva (Zoea)               H  :  Rumah jaga/laboratorium

*      Penyakit dan Pencegahannya
            Dalam kegiatan pembenihan rajungan, umunya sintasan yang rendah terdapat pada fase megalopa. Hal ini diakibatkan pada fase tersebut rentan dengan serangan bakteri patogen (Vibrio spp.) serta adanya sifat kanibalisme. Pola terjangkitnya benih rajungan oleh penyakit Vibrio spp. ini adalah dengan jalan menempel pada seluruh permukaan tubuh benih rajungan yang kemudian selanjutnya akan berkembang dan merusak seluruh bagian tubuh yang terangsang. Ciri-ciri dari benih rajungan yang terserang bakteri ini adalah pada bagian karapaks muda dan capitnya terdapat bercak seperti luka dan biasanya akan meluas jika tidak ditangani secara cepat. Di Indonesia, penanganan dan penanggulangan serangan bakteri ini biasa dilakukan dengan pemberian antibiotik berupa larutan kimia ke dalam wadah pemeliharaan dengan ukuran dan dosis tertentu. Beberapa macam antibiotik yang dapat diberikan adalah Chlorampenicol, Acriflavine, dan Sulphonamide.
            Hal lain yang dapat menimbulkan serangan penyakit pada kegiatan pembenihan rajungan adalah buruknya manajemen kualitas air. Pemberian pakan yang berlebihan serta bertumpuknya sisa pakan dan feses pada bagian dasar bak akan memicu produksi ammonia dan H2S yang dapat mematikan larva. Kotoran tersebut harus dibersihkan dengan jalan penyiponan yang dilakukan setiap hari.

*      Operasional Pembenihan
Pendekatan Teknologi
            Pendekatan teknologi yang akan dilakukan pada tahap operasi adalah sebagai berikut :
1.      Membuat kolam-kolam penampungan air sebagai persediaan air untuk memenuhi kebutuhan satu siklus pembenihan, sehingga pengambilan air dilakukan setiap saat secara terus menerus.
2.      Membuat kolam-kolam pengendapan air buangan dari kolam pembenihan, agar air yang dibuang terlebih dahulu diendapkan. Pengendapan ini bertujuan untuk mengurangi hasil ekskresi buangan yang banyak mengandung unsur hara, sehingga perairan tidak mengalami ledakan populasi plankton.
3.      Pada kolam-kolam pengendapan ini dapat dipelihara jenis-jenis ikan pemakan detritus. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kandungan ekskresi buangan sebelum dialirkan ke sungai.
Pendekatan Sosial
            Jenis pendekatan sosial ekonomi dan budaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1.      Menginformasikan lapangan kerja yang ada pada instansi terkait.
2.      Mengutamakan tenaga kerja lokal.
3. Pemberian gaji sesuai dengan UMR yang berlaku dengan berpedoman pada peraturan ketenagakerjaan termasuk asuransi sesuai dengan tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan Undang-undang tentang jaminan tenaga kerja.
4.      Melakukan kerjasama di dalam pelatihan petugas pengelolaan lingkungan.
5.      Melatih semua tenaga kerja terutama tenaga kerja lokal sebelum ditugaskan.
6.     Membuat program community development berupa bantuan sosial  ekonomi dan lingkungan hidup kepada masyarakat di sekitar lokasi proyek sesuai dengan kemampuan perusahaan.
7. Melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat supaya terjadi interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat di sekitar lokasi, guna mencegah terjadinya kecemburuan dan konflik sosial.
Pendekatan Institusional
            Upaya yang akan dilakukan dalam pendekatan institusional yaitu :
1.   Dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan dilakukan kerjasama antara institusi dan aparat pemerintah setempat.
2.    Membuat satu lembaga pengelolaan lingkungan dalam organisasi perusahaan.
3.  Dilakukan penyusunan sistem dan mekanisme kerja dalam pengawasan implementasi program pengelolaan lingkungan yang direncanakan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan.
4.  Menciptakan kerjasama diantara perusahaan dengan instansi terkait dalam pengelolaan dampak lingkungan (Tang, 2003).

No comments:

Post a Comment