Rajungan
(Portunus pelagicus) termasuk dalam kelas crustacea, famili portunidae yang penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik.
Rajungan juga banyak ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama
seperti kepiting bakau (Scylla serrata).
Rajungan merupakan komoditi perikanan yang saat ini banyak diminati, memiliki
nilai ekonomis tinggi, dan mulai dikembangkan pembudidayaannya. Rajungan telah diekspor ke berbagai negara
dalam bentuk rajungan segar maupun olahan, dimana rajungan segar banyak diminta
oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku ke negara Jepang dan Amerika.
Sampai saat ini seluruh kebutuhan
ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di alam, sehingga
dikhawatirkan akan mempengaruhi populasinya di alam. Alternatif untuk
menghindari kepunahan rajungan adalah melalui pengembangan budidaya rajungan. Kendala
yang dihadapi selama ini adalah masih rendahnya persentase sintasan benih yang
dihasilkan dan belum ada teknologi pembenihan rajungan yang mudah diaplikasikan.
Oleh karena itu diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang teknik pembenihan rajungan guna mendukung
kegiatan pembudidayaannya, serta dalam rangka untuk memenuhi stok pasar
sehingga dapat menciptakan suatu lapangan kerja baru, dan dapat meningkatkan
penghasilan petani budidaya rajungan serta dapat menambah devisa negara melalui
ekspor rajungan hasil budidaya. Selain itu, keberadaan populasi rajungan
di alam dapat tetap lestari.
Persyaratan Lokasi
1. Suplai Air Laut
Pada
umumnya, lokasi hatchery (panti benih) terletak dekat dengan laut/pantai yang
profil dasar perairannya bersih dan mudah untuk dijangkau. Sumber air untuk pemeliharaan larva rajungan
berasal dari air laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian
disterilkan dengan sodium hipoklorit dan dinetralkan dengan sodium
tiosulfat. Kontrol terhadap kualitas air
juga perlu diperhatikan seperti fluktuasi suhu, salinitas, pH, oksigen
terlarut, ammonia dan nitrit. Parameter
kualitas air untuk kegiatan pembenihan rajungan suhu 27 – 30oC,
salinitas 30 – 36 ppt, pH 7.5 – 8.5, DO >5 ppm, ammonia <0.1 ppm, nitrit
<0.02 ppm.
2. Ketersediaan Listrik
Sebuah
sarana hatchery harus dilengkapi dengan listrik yang dapat menunjang kegiatan
dan operasional pembenihan. Kegunaan
lain dari sumber listrik adalah dapat menunjang kegiatan-kegiatan tambahan yang
dilakukan di dalam pembenihan seperti mendukung kegiatan manusia yang
beraktifitas di dalamnya.
3. Jangkauan Transportasi
Transportasi
yang baik didukung dengan kondisi jalan yang baik pula dapat mendukung kegiatan
operasional pembenihan. Stress pada
organisme yang dibenihkan dan biaya operasional akan dapat diminimalisasi sekecil
mungkin apabila sarana yang ada dapat menunjang dan juga pemasaran yang dapat
dijangkau dalam waktu yang singkat.
4. Suplai Air tawar
Air
tawar sangat berguna dalam kegiatan pembenihan.
Air tawar berguna untuk membersihkan material dan tangki-tangki yang ada
dari parasit, jamur serta bakteri yang tersisa.
Pelaksanaan Hatchery
1. Syarat Induk
Menurut
Susanto (2005) induk rajungan yang siap dipakai dalam pembenihan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
o
Membawa
telur pada abdomennya dengan warna telur orange sampai hitam
o Panjang karapas sekitar 6,0 – 7,5
cm
o Lebar karapas sekitar 10 – 15 cm
o Bobot tubuhnya 200 – 250 gr
Induk rajungan yang mengandung
telur banyak terdapat pada bulan Maret sampai Mei dan pada bulan Juni sampai
Agustus. Induk rajungan yang
mengandung telur diangkut dengan wadah kantung plastik atau ”box polyester”
volume 5 – 10 liter untuk 1 ekor dengan suhu air 30oC, bila capit
diikat dapat terisi lebih banyak lagi. Lama
transportasi untuk membawa induk rajungan sampai 1 – 5 jam, dan menggunakan
aerasi yang cukup. Induk rajungan
kemudian ditempatkan pada bak beton tertutup dengan kedalaman 50 cm, dan
dilakukan pergantian air atau air mengalir.
2. Penanganan Induk
Setelah
sampai di lokasi pembenihan, semua induk rajungan diadaptasikan dengan kondisi
lingkungan pembenihan dan dilakukan perendaman dengan larutan formaldehyde
25mg/L selama 30 menit disertai dengan aerasi terus-menerus untuk mencegah
penyakit dan parasit. Kemudian dimasukkan
ke dalam bak yang telah disediakan.
Untuk
calon induk yang belum memijah ditempatkan pada bak beton berukuran 250 x 200 x
100 cm3 yang dasarnya diisi pasir halus setebal 5 – 10 cm dengan
sistem air mengalir, dengan kepadatan 1 – 2 ekor/m2, dan pengamatan
dilakukan setiap hari untuk mengetahui apakah induk sudah siap untuk memijah.
Untuk
yang telah membawa lipatan telur pada abdomennya ditempatkan secara individu
dalam bak fiber glass berdiameter 90 cm, tinggi 80 cm dan volume air sekitar 300
L yang dilengkapi dengan sistem aerasi. Dengan lama inkubasi sampai menetas memerlukan waktu 5 – 8 hari
tergantung dari perkembangan embrio, biasanya induk rajungan dengan telur
berwarna kuning memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan yang berwarna
coklat atau hitam. Selama masa inkubasi
dilakukan pergantian air sebanyak 50 – 75% perhari dan induk diberi pakan
cumi-cumi yang dipotong kecil sebanyak 5 – 10% dari bobot tubuh. Biasanya telur akan menetas pada waktu malam
atau pagi hari antara pukul 20.00 – 24.00 dan pukul 06.00 – 08.00.
Dari seekor induk rajungan dapat
menghasilkan zoea-1 sebanyak 450.000 sampai 950.000 ekor. Hubungan antara induk rajungan dengan jumlah zoea
yang dihasilkan sangat erat, dimana semakin besar ukuran induk akan
menghasilkan zoea yang semakin banyak pula (Susanto, 2005).
3. Penanganan Larva
Langkah
awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak
dengan aerasi, dan mengisi air laut sebanyak ¾ dari volume bak. Suhu media antara 29,5 – 30oC;
salinitas 30 – 33 ppt; pH sekitar 8 – 8,5; DO antara 4,5 – 5,2 mg/l; intensitas
cahaya 2.500 – 3000 lux.
Penebaran
larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 75 – 100 ind./L. Perkembangan zoea dimonitor setiap hari
dengan melihat perubahan bentuk zoea di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk menentukan dosis pakan yang akan diberikan. Stadia zoea I ditandai dengan periopod
berjumlah 4 buah, sedangkan zoea II berjumlah 6 buah atau lebih, zoea III ditandai dengan mulai tumbuhnya
pleopod, dan zoea IV pleopod tumbuh lebih panjang. Setelah itu, larva kemudian bermetamorfosis
menjadi megalopa (Susanto 2005).
4. Pemeliharaan Megalopa
Setelah
larva mencapai stadia megalopa, kemudian dipindahkan ke bak pemeliharaan lain
yang lebih luas untuk menghindari kanibalisme. Megalopa tersebut dipelihara sampai menjadi crablet 3 – 5. Pemeliharaan megalopa sampai crablet
dilakukan dengan kepadatan 500 – 1.000 ekor/m2, yang dilengkapi
dengan shelter berupa batu karang dan
lembaran jaring yang digunakan sebagai tempat bersembunyi dan menghindari
pemangsaan (kanibalisme) oleh crablet yang lain saat ”moulting” (pergantian
kulit). Kanibalisme juga dapat dicegah
dengan pemberian pakan yang optimal. Pergantian
air sebanyak 50 – 75%/hari, suhu air antara 29,5 – 32oC, salinitas
28 – 32 ppt dan intensitas cahaya sekitar 3.300 lux (Susanto 2005).
Pakan dalam Pemeliharaan Larva, Megalopa
dan Juwana
Berbagai
metode dan jenis pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva rajungan
sampai crablet (anak rajungan) adalah berupa rotifer, naupli artemia, pakan
tambahan/pakan komersil, dan ikan rucah yang diblender. Pemberian pakan yang cukup kandungan gizinya akan
memberikan sintasan yang tinggi.
Pakan
larva rajungan yang diberikan selama pemeliharaan berupa beberapa macam rotifera,
naupli artemia, dan pakan komersil (micro diet) yang memiliki ukuran partikel
antara 5 – 200 μm; pakan tersebut mengandung protein 48% - 52%; lemak 14,5%;
dan serat 3 – 10%. Pakan komersil yang
digunakan ada 3 jenis sesuai dengan ukuran partikel pakan tersebut. Pakan zoea I memiliki ukuran partikel 5 – 30
mikron, pakan zoea II & III berukuran 30-90 mikron dan pakan zoea III
sampai megalopa berukuran 150 – 200 mikron. Selama pemeliharaan megalopa sampai crablet diberi pakan beberapa jenis
pakan yaitu artemia, jambret, cacahan ikan/teri, dan pakan buatan yang
berukuran 500 – 800 μm sampai kenyang (Susanto 2005).
Desain Hatchery
Bak
induk, merupakan tempat pemeliharaan induk rajungan. Bentuk dan
ukurannya dapat direkayasa sesuai dengan kebutuhan induk. Bak ini juga
dilengkapi dengan sistem aerasi guna menjamin ketersediaan oksigen di dalam
bak.
Bak
larva dan post-larva. Larva juga dapat dipelihara pada berbagai bentuk
bak tetapi yang lebih sesuai untuk pemeliharaan larva rajungan adalah bentuk
bak yang bulat yang ditempatkan di luar ruangan atau ruang kaca. Langkah yang
dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak, dengan
mempertahankan suhu air yang konstan; salinitas air 30 – 30 ppt, pH 8 – 8,5,
oksigen terlarut 15 – 20 L/ton/menit, dan intensitas cahaya di atas 3.000 lux. Penebaran larva rajungan dapat
dilakukan dengan kepadatan 100 ind./L (Juwana, 2004).
Bak pakan
alami. Berfungsi sebagai wadah kultur pakan alami. Beberapa jenis pakan
alami yang dapat dibudidayakan berupa rotifer dan artemia. Bak pakan alami
sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya dapat menembus dasar
bak. Hal ini dapat memungkinkan laju pertumbuhan dari pakan alami yang
dibudidayakan dengan baik. Menurut Juwana (1992), kedalaman yang ideal untuk
bak pakan alami adalah berkisar antara 0,5 – 1,5 meter. Hal ini yang perlu diperhatikan
adalah bak pakan alami ini harus sesuai disertai dengan atap transparan yang
berfungsi untuk mencegah kontak langsung dengan matahari dan juga rembesan air
hujan.
Bak
pemijahan. Berfungsi sebagai wadah pemijahan induk. Biasanya ukuran bak
pemijahan ini lebih kecil dari bak yang lain. Ukuran ideal dari bak pemijahan
ini adalah 0,25 – 1 ton dengan kedalaman sekitar 50 cm. Desain fisik dari bak
pemijahan ini adalah untuk mencegah penetrasi cahaya matahari sehingga
perkembangan telur nantinya tidak terganggu oleh alga.
Bak
penampungan air. Berfungsi sebagai wadah penampungan air yang terlebih dahulu
melalui proses filtrasi dan klorinasi. Ukuran dari bak ini harus disesuaikan
dengan kapasitas total bak-bak yang lainnya. Umumnya jumlah dari bak
penampungan air ini lebih dari satu unit (disarankan terdiri dari 2 – 3 bak
penampungan) guna menjaga kemungkinan apabila ada salah satu bak yang
dibersihkan (disucihamakan).
Sistem
aerasi. Berguna menjaga kadar oksigen di dalam air dan menjamin
kelangsungan hidup plankton dalam bak. Kesesuaian sistem aerasi yang ada dengan skala
produksi perlu diperhatikan. Apabila kegiatan pembenihan yang dilakukan dalam
skala besar/menengah, kita bisa menggunakan blower atau kompresor, sedangkan
apabila kita melakukan kegiatan pembenihan dalam skala kecil cukup hanya
menggunakan aerasi aquarium.
Pompanisasi.
Air laut yang terdapat di bak penampungan ataupun dari laut yang akan ditransfer
ke dalam bak larva harus melalui proses pompanisasi. Tipe dan ukuran pompa
harus disesuaikan dengan total volume air yang digunakan per hari dan lama
waktu penggunaannya. Secara teknis, desain hatchery rajungan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Keterangan :
A :
Rumah Pompa E : Bak
pemeliharaan megalopa
B : Bak
penampungan air F : Bak
pemeliharaan juvenil
C : Bak
induk/pemijahan G : Bak
pakan alami
D : Bak
pemeliharaan larva (Zoea) H :
Rumah jaga/laboratorium
Penyakit
dan Pencegahannya
Dalam
kegiatan pembenihan rajungan, umunya sintasan yang rendah terdapat pada fase
megalopa. Hal ini diakibatkan pada fase tersebut rentan dengan serangan bakteri
patogen (Vibrio spp.) serta adanya
sifat kanibalisme. Pola terjangkitnya benih rajungan oleh penyakit Vibrio spp. ini adalah dengan jalan
menempel pada seluruh permukaan tubuh benih rajungan yang kemudian selanjutnya
akan berkembang dan merusak seluruh bagian tubuh yang terangsang. Ciri-ciri
dari benih rajungan yang terserang bakteri ini adalah pada bagian karapaks muda
dan capitnya terdapat bercak seperti luka dan biasanya akan meluas jika tidak
ditangani secara cepat. Di Indonesia, penanganan dan penanggulangan serangan
bakteri ini biasa dilakukan dengan pemberian antibiotik berupa larutan kimia ke
dalam wadah pemeliharaan dengan ukuran dan dosis tertentu. Beberapa macam
antibiotik yang dapat diberikan adalah Chlorampenicol, Acriflavine, dan
Sulphonamide.
Hal
lain yang dapat menimbulkan serangan penyakit pada kegiatan pembenihan rajungan
adalah buruknya manajemen kualitas air. Pemberian pakan yang berlebihan serta
bertumpuknya sisa pakan dan feses pada bagian dasar bak akan memicu produksi
ammonia dan H2S yang dapat mematikan larva. Kotoran tersebut harus
dibersihkan dengan jalan penyiponan yang dilakukan setiap hari.
Operasional Pembenihan
Pendekatan Teknologi
Pendekatan
teknologi yang akan dilakukan pada tahap operasi adalah sebagai berikut :
1. Membuat kolam-kolam penampungan air
sebagai persediaan air untuk memenuhi kebutuhan satu siklus pembenihan,
sehingga pengambilan air dilakukan setiap saat secara terus menerus.
2. Membuat kolam-kolam pengendapan
air buangan dari kolam pembenihan, agar air yang dibuang terlebih dahulu
diendapkan. Pengendapan ini bertujuan untuk mengurangi hasil ekskresi buangan
yang banyak mengandung unsur hara, sehingga perairan tidak mengalami ledakan
populasi plankton.
3. Pada kolam-kolam pengendapan ini
dapat dipelihara jenis-jenis ikan pemakan detritus. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kandungan ekskresi buangan sebelum dialirkan ke sungai.
Pendekatan Sosial
Jenis
pendekatan sosial ekonomi dan budaya yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Menginformasikan lapangan kerja yang ada
pada instansi terkait.
2. Mengutamakan tenaga kerja lokal.
3. Pemberian gaji sesuai dengan UMR yang
berlaku dengan berpedoman pada peraturan ketenagakerjaan termasuk asuransi
sesuai dengan tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan Undang-undang tentang jaminan tenaga kerja.
4. Melakukan kerjasama di dalam pelatihan
petugas pengelolaan lingkungan.
5. Melatih semua tenaga kerja terutama tenaga
kerja lokal sebelum ditugaskan.
6. Membuat program community development berupa bantuan sosial ekonomi dan lingkungan hidup kepada masyarakat
di sekitar lokasi proyek sesuai dengan kemampuan perusahaan.
7. Melakukan pendekatan-pendekatan kepada
masyarakat supaya terjadi interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat di
sekitar lokasi, guna mencegah terjadinya kecemburuan dan konflik sosial.
Pendekatan Institusional
Upaya
yang akan dilakukan dalam pendekatan institusional yaitu :
1. Dalam pengelolaan dan pemantauan
lingkungan dilakukan kerjasama antara institusi dan aparat pemerintah setempat.
2. Membuat satu lembaga pengelolaan
lingkungan dalam organisasi perusahaan.
3. Dilakukan penyusunan sistem dan mekanisme
kerja dalam pengawasan implementasi program pengelolaan lingkungan yang
direncanakan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan.
4. Menciptakan kerjasama diantara perusahaan
dengan instansi terkait dalam pengelolaan dampak lingkungan (Tang, 2003).
No comments:
Post a Comment